23 April 2014

Bayi-bayi yang Lahir dari Batu

Ah. Satu teriakan lagi memekik nyaring dari sudut jalan. Kemungkinan suara tawa seorang bayi yang lagi latihan berjalan. Setelah malam lalu, seekor monyet mengabarkan padaku, bahwa kawanannya menemukan bayi yang hampir tenggelam dalam lumpur panas. Bayi itu tidak berhasil mereka selamatkan. Bisa kau bayangkan, bayi itu tenggelam saat wajahnya mulai menguning. Sebelum kabar itu tiba, aku masih membaca berita tentang bayi yang memeluk seekor beruang. Kasihan!

Aku duduk di teras rumah. Membaca diri dalam potret mereka yang lucu di pinggir jalan. Di atas meja ada secangkir teh, ragu dan petisi. Apa kekurangan mereka sampai aku begitu sering mengeluh ? Senyum merekah. Tubuh terbalut kain yang berwarna-warni. Khas bayi-bayi yang baru lahir. Bahkan di bulan bernama, mereka semakin sering menghampiri kawanan monyet. Membawa kacang dan melemparinya dengan sungguh. Sambil cekikikan menahan haru melihat para monyet yang terpaku. Mendengar teriakan yang katakatanya berlalu. Begitu...

Maaf saja, aku manusia. Aku tak perlu makan kacang. Aku makan binatang, seperti ayam, ikan, kalau perlu kuda. Itu sebabnya aku membuatkan mereka petisi. Isinya tentu saja permintaan. Kepada mereka, bayibayi yang lahir dari batu. Inilah Petisi, lelaki tua yang berdempul luka di wajah bagian kirinya;

Bicara soal mimpi. Sejak tangismu pertama, di titik itulah mimpimu berteriak. Kau dilahirkan dengan sisa-sisa keikhlasan. Walaupun kadang seorang ibu, pula yang menyesali. Bahkan membunuhmu. Tetapi, hidupmu berbaur dengan udara yang bau. Saat kau bicara ‘rakyat’. Kau bicaralah soal rakyat. Jangan kau biarkan mulutnya bernyanyi galau soal lenguhmu yang berlari digiring negeri lain. Sini, aku ceritakan kau sebuah kisah. Agar tidurmu nyenyak tidak kunjung gelisah karena memikirkan utang atau penjara menunggu. Kau masih bayi. Justru itu, kuceritakan ini dalam selembar kertas yang kuanggap petisi. Setelah ini kau akan bertumbuh. Ingatlah bahwa kau lahir dari batu. Kau musti menempa diri supaya pecah jadi abu.

Di depan rumahku, ada sebuah pabrik roti. Aku dan kawanan monyet tidak pernah sekalipun mencicipi rasa rotinya. Mau membeli kami tidak punya kertas. Sekalipun roti itu sudah kering. Si empunya tidak akan membaginya. Tetapi aku dan kawanan monyet setiap pagi sengaja duduk di belakang ruang masak. Lewak fentilasi, kami dapat menikmati roti walaupun hanya harumnya bukan rasanya. Suatu waktu, si empunya mengganti peralatan masak senilai satu milyar kertas. Selang beberapa hari, di penghujung akhir tahun, tiba-tiba gas di dalam ruang masak meledak. Aku sedang makan kuda di televisi waktu itu. Tiba-tiba seekor monyet berlari mengambil kayu. Melemparkan pada monyet yang lainnya. Monyet yang lainnya memanjat sebuah tiang dan membenturkan kayu pada tiang. Hanya satu kata.

‘Kebakaran..........’

Seluruh kawanan monyet berlari, masuk ke dalam pabrik, mengangkut semua barang keluar. Mobil mewah, uang berlimpah dan selingkuhan dimana-mana. Semua diselamatkan oleh kawanan monyet. Api melahap pabrik begitu cepat. Si empunya menangis. Kawanan monyet sedih. Hampir tidak percaya....Kau bayangkan begitulah kawanan monyet berlaku. Seusai api membumbung, mereka tidak menari. Malah mereka jadi aneh sendiri. Bagaimana bisa satu kata itu membuat kaki mereka berlari ?

Aku, yang manusia ini memang berusaha selalu pandai di hadapan mereka kawanan monyet. Aku makan mereka, mereka masih makan kacang. Aku jelaskan pada mereka  soal nurani. Mereka semakin kebingungan. Ini hanya puncak gunung es dari permasalahan yang lebih dalam, yakni badai relativisme. Relativisme membawa mereka pada kebingungan. Setiap hari mereka tidak dibagi roti dari pabrik itu. Tetapi mereka menolong saat pabrik itu terbakar. Sayangnya, nurani dari kawanan monyet ini melepas segala kekurangan dan cacatnya pabrik roti. Kepekaan kawanan monyet sudah terlatih.

Nurani...itu bekal dalam hidup.

Potretmu banyak sekali. Tak satu pun kupahami. Selain teriakan dan pertunjukkan lempar-melempar kacang. Setiap hari di depan teras, bersama secangkir teh, ragu dan petisi, aku mengamati. Andai kalian punya, nurani...

 (Liona Aprisof
, Bengkulu, 3 April 2014)

Tidak ada komentar:
Write $type={blogger}

Terimakasih atas partisipasinya

regards

mata reality

TRENDING TOPIK

Pentingnya Organisasi Kepemudaan dalam Membangun Bangsa

Organisasi kepemudaan memiliki peran yang sangat penting dalam membantu pelembagaan kepemudaan dan memperkuat identitas nasional di Indonesi...