07 Mei 2014

Suatu Perspektif yang Tidak Biasa

Oleh : Fitrah Insani

Sholat ; Memori Saat Ber HMI
“……Sesungguhnya sholat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar…(Q.S Al-Ankabut: 45)”



 






Kira – kira pada tahun 2012 sekitar 2 tahun yang lalu, dalam suatu diskusi saya pernah di tanya oleh junior saya. Saat itu saya adalah pengurus HMI (HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM) dan anggota yang bertanya tersebut belum lama telah mengikuti Latihan Kader 1, yaitu salah satu training formal di HMI. Dia bertanya tentang orang yang mengerjakan sholat tapi tetap saja melakukan hal yang sama-sama kita anggap hal yang tidak benar. Pertanyaannya; kenapa apabila orang yang telah melakukan sholat 5 waktu dalam sehari tetapi masih saja melakukan hal-hal yang merupakan dosa? Yang bertanya itu kemudian menyitir sebuah jawaban pertanyaan yang sama yang ia ajukan pada orang lain dalam diskusi yang sudah lalu. Bahwa jika seseorang masih saja melakukan hal-hal maksiat tetapi telah melaksanakan sholat artinya sholat orang tersebut tidaklah benar. Kemudian tambahnya, untuk apa kita sholat jika kita masih saja melakukan hal-hal yang sifatnya maksiat? Kemudian saya menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang berbeda, saya mengatakan;, sholatnya sudah benar, yang salah bukan sholatnya, tidak perlu meninggalkan sholat, dan yang perlu di tinggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak benar. Kemudian saya memberikan sebuah analogi dengan mengatakan ; untuk apa adanya polisi jika masih banyak yang melakukan maling misalnya. Apakah dengan begitu kita harus menghilangkan atau meniadakan polisi? Atau seperti ini saja cara berfikirnya; ada polisi saja maling masih banyak apalagi jika tidak ada polisi, jelas yang maling bisa lebih banyak lagi.

            Saya cukup mengertia bahwa sebagian anggota HMI apalagi yang belum lama mengikuti latihan kader 1 adalah masa transisi. Dimana ia berusaha meninggalkan kebiasaan “lama” dan bahkan sudah mendarah daging. Kemudian ia mulai menekuni hal- hal yang baik dan mulai untuk mengerjakan sholat. Tentu saja hal ini tidak mudah bagi mereka. Kesadaran dan keseriusan yang kuatlah tentunya akan membuat mereka mampu untuk memperbaiki diri. Sehingga terkadang banyak dari mereka malah mungkin tidak berubah sama sekali. Apalagi jika dalam lingkungan komisariat budaya ataupun kebiasaannya tidak begitu mendukung bagi para anggota HMI untuk merubah dan memperbaiki diri dan akan lebih parah lagi jika para mentor ataupun seniornya memberikan contoh- contoh yang tidak baik tentu saja mereka akan menjauhkan diri dari keseriusan.

            Memang benar jika kebebasan individu dalam arti memilih berupaya mendekati rhido Allah atau tidak adalah hak individu masing-masing. Namun sebagai anggota apalagi pengurus HMI, sudah jelas bahwa organisasi ini menjadikan Islam sebagai Asas perjuangannya. Dalam artian bahwa landasan perjuangan HMI harus lah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Nafas perjuangan anggota dan juga kader, haruslah islam. Sebagaimana dengan missi organisasi 5 Kualitas Insan Cita. Untuk itu, bagi para kader HMI hendaklah senantiasa untuk berbuat dan bersikap yang sesuai dengan identitasnya sebagai Kader ataupun anggota HMI.

            Pertanyaan yang paling mendasar yang menjadi kegelisahan saat itu, adalah : apakah ber-HMI ini akan menjadi ladang pahala atau malah menjadi ladang dosa bagi kita,? ketika di hadapkan kenyataan bahwa saat ini alumni atau Kader-kader yang ditelurkan oleh HMI dan yang muncul kepermukaan kebanyakan adalah orang-orang yang Korupsi misalnya. Mungkin saja mereka inilah yang merusak kondisi bangsa dan negara? Mungkin saja dosa-dosa yang dilakukan oleh kader-kader HMI lebih besar dari pada kebajikannnya? Lalu apakah dengan begitu kita akan meninggalkan HMI ? Apakah dengan meninggalkan HMI, organisasi ini akan mati? Tentu saja tidak, Maka dengan begitu upaya menjadi pribadi baik haruslah senantiasa ada disetiap kader HMI, dan orang –orang yang paling baik diantara mereka semestinya menjadi orang yang mengemban amanah di HMI, dan orang- orang yang senantiasa berbenah diri demi kebaikan dirinya dan kebaikan HMI.

            Saya teringat kata- kata dari senior saya yang rasanya tidak perlu untuk menyebutkan namanya, yang cukup menginspirasi pada saat saya menjadi pengurus HMI, “Bahwa; di HMI kita tetap optimis meski dengan tujuan yang terlalu Utopis, terkadang yang kita rekrut adalah orang –orang yang berwujud manusia namun berprilaku setan, dan orang – orang inilah yang dengan melalui proses Perkaderan di HMI ingin diubah menjadi Nabi.”  Disinilah letak keharusan bagi para Kader untuk menjalankan organisasi ini dengan betul –betul serius, karena jika Kader HMI menjalankan organisasi dengan tanpa kesungguhan maka akan semakin menjauhkan diri dari misi HMI.

            Kita banyak melihat bahwa banyak dari kalangan alumni HMI yang terjerat oleh kasus- kasus korupsi. Padahal pada saat mahasiswa dan menjadi pengurus HMI mereka adalah orang-orang yang betul- betul idealis. Namun setelah memasuki lingkungan birokrasi ataupun juga memasuki jabatan- jabatan politis dan bersentuhan dengan orang-orang yang telah tertanam oleh budaya- budaya yang tidak sehat, beberapa kader HMI menjadi tidak “Siap” lalu dengan mudah terbawa arus dan tidak mampu menahan godaan- godaan. Untuk itulah sholat di butuhkan untuk menjaga komitmen agar dalam perjalanannya tidak layu diterpa berbagai macam bentuk godaan

            Maka jika seseorang mengatakan tidak perlu melakukan sholat karena sudah melakukan hal-hal yang baik dan mengetahui tujuan sholat yaitu untuk menjauhi perbuatan keji dan mungkar itu berarti orang tersebut telah menganggap dirinya adalah orang yang baik di hadapan allah. Ada suatu ayat Al-quran dan Hadist yang menyatakan; Dan mereka yang memberikan sedekah dengan hati penuh rasa takut, karena tahu akan kembali kepada Tuhan, mereka itulah yang segera menyambut segala pekerjaan yang baik (kembali kepadaTuhan (Qs., 23: 60) dan Aisyah pernah menanyakan: “hai nabi apakah orang ini berbuat baik yakni bersedekah, dan dalam waktu yang sama juga mencuri, melakukan zinah dan sebagainya sehingga ia tidak yakin nanti di akhirat ia akan di terima? (QS 23-60). Rasullullah menjawab “Tidak, orang ini tetap berbuat baik dan memang hanya berbuat baik, tetapi dia tidak memastikan diri bahwa nanti akan mendapatkan pahala dari Allah Swt.” Maka dari itu seseorang harus senantiasa sadar dan selalu berupaya memperbaiki diri dan dengan melakukan sholat agar upaya- perbaikan diri ini akan tetap terjaga secara konsisten ; bak tanaman yang dijaga dan disiram.

Apakah Orang Yang Menjalankan Sholat Harus Terhindar Sepenuhnya Dari Perbuatan Dosa?

            Menjadi sebuah pertanyaan apabila sholat yang dilaksanakan tidak sepenuhnya menghindarkan manusia dari kesalahan- kesalahan. Namun apakah itu berarti sholat seseorang tersebut menjadi tidak benar? Sebagaimana yang kita ketahui bahwa menurut Al-quran, sholat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Lantas apakah dengan seperti itu ayat tersebut dapat di perdebatkan mengenai kebenaran dan keabsahannya?

          Sebagaimana sifat lalai, pelupa, dan membangkang merupakan ciri khas manusia, selain itu manusia tidak mungkin hidup tanpa di iringi nafsu/instingtual (cenderung kepada hal-hal yang enak-enak secara lahir dan instan) namun disisi lain manusia dilengkapi dengan sifat akal (cenderung pada pilihan yang rasional) dan Fitrah serta hanif (cenderung kepada kebenaran, kebaikan dan berkeinginan suci). Sehingga dengan begitu manusia akan selalu mengahadapi berbagai macam bentuk pilihan yang dapat dinyatakan bahwa manusia sebagai mahluk yang bebas berbuat sehingga kebajikan ataupun dosa yang ia lakukan menjadi genuine dimiliki oleh manusia itu sendiri. Berbeda halnya dengan mahluk Allah lainnya, seperti malaikat ataupun binatang. Karena mahluk tersebut tidak memiliki kemampuan untuk membuat pilihan berbuat baik atau buruk, dan benar atau salah. Namun sebagaimana biasanya manusia untuk dapat mengembangkan sifat akal dan fitrah serta hanif tentunya tidak didapatkan dengan mudah. Untuk itu manusia dapat mengembangkan dan meningkatkan sifat tersebut tentunya hal ini memerlukan proses pembelajaran. Baik dari orang lain maupun dari kecakapannya sendiri. Berbeda halnya dengan nafsu. Nafsu pada manusia lebih bersifat hakiki daripada sifat akal dan hanif, karena sifat nafsu pada manusia dimiliki dan berkembang tanpa mesti belajar. Sebaliknya manusia mesti belajar dan bahkan tertatih-tatih untuk berupaya mengendalikan nafsunya. Sehingga dengan demikian kesalahan, kekhilafan ataupun dosa merupakan hal yang wajar sepanjang hal itu dilakukan tanpa kesengajaan dan segera sadar dan memohon ampunan atas kesalahan.

            Logikanya sederhana, seseorang akan di berikan ampunan atas kesalahan-kesalahan yang ia kerjakan lantaran ia melaksanakan sholat. Artinya seseorang yang telah melaksanakan sholat juga tidak terhindar dari dosa atau kesalahan. Rasullulah pernah bersabda kepada para sahabat; “Sekiranya di muka rumah seseorang diantara kamu ada sungai yang mengalir dan ia mandi lima kali sehari apakah masih tetap tinggal juga kotoran dibadannya? Sahabat menjawab; tentu tidak ada kotoran lagi yang tinggal ya Rasullullah, Rasullulah pun melanjutkan; Begitu pula sholat, Allah menghapuskan kesalahan- kesalahan orang yang menjalankan Sholat.  Dan juga sebagaimana kita ketahui bahwa Rasullulah mengajarkan untuk mengucapkan Tahmid, Tahlil dan Takbir. Masing- masing di ucapkan sebanyak33 kali setelah habis sholat, dan hal tersebut jika dilakukan dapat memberikan ampunan atas dosa- dosa yang telah dilakukan. Hal itu dapat diartikan bahwa seseorang yang telah melaksanakan sholat juga tidak terhindar dari perbuatan dosa. Namun seseorang tersebut hendaklah selalu berupaya untuk melakukan kebajikan- kebajikan dan selalu berupaya untuk meninggalkan segala perbuatan dosa, meski dalam perjalanannya ia tidak dapat terhindar sepenuhnya dari perbuatan  dosa dan kesalahan.

            

SHOLAT DAN IBADAH SOSIAL

            Di HMI pandangan mengenai misi Islam yang dibawa rasullullah adalah misi peradaban. Yaitu ajaran-ajaran yang dibawa bukan hanya dalam konteks ibadah ritual semata, yang hanya memiliki hubungan secara vertikal yaitu manusia secara individu dengan Penciptanya. Namun ibadah ritual atau ibadah formil ini dalam waktu yang sama juga memiliki hubungan dan output yang merubah kondisi masyarakat. Seperti itu juga dalam memandang hikmah Sholat tentunya juga memiliki hubungan dalam kaitannya di kehidupan sosial.

            Sebagaimana diakhir sholat senantiasa mengucapkan Assalamu’alaikum,  yaitu do’a bagi keselamatan orang lain sambil menoleh kekanan dan kekiri sebagai simbol untuk kepedulian kepada orang-orang atau masyarakat di sekitar kita. Tentu saja yang di kehendaki bukan hanya simbol, namun hal ini menginginkan adanya tindakan yang praksis di kehidupan.

            Apakah yang membawa kamu ke dalam api neraka?Mereka berkata, “Kami tak termasuk golongan orang yang shalat. Juga tidak memberi makan orang miskin”(Qs,74: 42-44)

            Oleh karena itu kepedulian terhadap orang- orang atau masyarakat disekitar kita adalah hal yang penting. Sehingga seseorang yang mengerjakan sholat sebagai ibadah formil namun tidak melakukan apa- apa untuk kebaikan orang-orang sekitarnya padahal kondisinya ia sebagai orang yang mampu. Dapat dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang lalai dalam sholatnya. Dan Allah pun juga menegaskannya dalam ayat berikut;

            ..Dan celakalah bagi orang-orang yang sholat, yaitu orang-orang yang lalai dalam Sholat nya, orang-orang yang berbuat riya’, dan enggan menolong sesama. (Qs Al-ma’un: 5- 7).

            Rasullullah dipandang sebagai orang yang tidak kurang dalam ibadah sholat, karena rasullah tidak hanya sekedar melaksanakan sholat yang di perintahkan secara wajib. Namun di luar itu banyak amalan sholat yang dilakukan dan disunnahkan untuk dilaksanakan oleh umatnya. Namun di sisi lain Rasullullah adalah orang yang begitu respon dalam persoalan sosial apalagi hal-hal yang menyangkut persoalan eksistensi umat. Beliau bahkan tidak begitu mementingkan soal-soal keindividuannya. Ini dapat kita lihat dalam sejarah kehidupannya. Beliau adalah orang yang sangat sederhana, jika dilihat dari makanan yang ia makan , baju yang ia kenakan, rumah yang ia tinggali dan ketika beliau di zalimi dilempari dengan kotoran onta beliau tidak membalasnya sehingga dapat dikatakan beliau tidak mementingkan hal-hal yang sifatnya individualis. Namun disisi lain Rasullulah adalah orang yang begitu merespon dan mementingkan persoalan umat walaupun harus menuai perang sebagai konsekuensi logisnya.

            Kita tentunya sering melihat bahwa bagaimana orang –orang begitu mementingkan soal-soal individu. Terlihat jelas misalnya saat mereka begitu keras dalam mencari kehidupan ekonomi bahkan berlomba-lomba bekerja keras pagi, siang, dan malam dalam menumpuk kekayaan untuk dirinya sendiri atau untuk keluarganya. Atau bahkan dengan menghalalkan segala cara, sehingga dalam hal ini ke-Egoan manusia melahirkan energi yang luar biasa. Sehingga dalam perbuatannya mereka begitu memaksakan diri atau malah  hanyut dalam upaya pemenuhan tujuan yang ia inginkan sebagai kepentingan individu. Jika energi egosentris yang luar biasa ini dialihkan untuk mengejawantahkan nilai- nilai kemanusiaan ditengah- tengah masyarakat, tentunya akan menuai hasil yang luar biasa pula. Inilah yang di kehendaki, bahwa sebagai muslim hendaknya menjadikan kepentingan sosial ataupun kepentingan dan kebaikan masyarakat menjadi kepentingan individunya sendiri sehingga dalam perjalanannya; seseorang menjadi begitu Egois untuk berbuat amal-amal kemanusiaan agar menuai hasil. Dengan begitu akan dapat menghasilkan hal yang luar biasa pula dalam upaya perbaikan kondisi mayarakat.

            Tentu saja berbuat kebajikan bukanlah hal yang dengan mudahnya dilakukan. Seseorang yang melakukan kebajikan belum tentu akan dapat melaksanakannya dengan tanpa hambatan, atau malah berbuat kebajikan akan menuai hal-hal yang tidak baik bagi dirinya. Untuk itu berbuat kebajikan mestilah dilakukan betul- betul ikhlas atau dengan kesungguhan hati. Sebagaimana Rasullullah dalam proses dakwahnya mengalami banyak rintangan dan cacian, namun di situlah letak kesungguhan hati itu teruji.

Hadist: “sembahyang adalah tiang agama. Barangsiapa mengerjakannya berarti menegakkan agama. Barangsiapa meninggalkannya berarti merobohkan agama” (-Baihaqi).

            Maka dengan hubungan seperti itu dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan amal (kebajikan) atau kerja-kerja kemanusiaan. Posisi sholat merupakan sebagai tiang penyanggah agar tidak mudah roboh dengan berbagai macam terpaan. Sehingga dengan sholat dapat menjadikan manusia menjadi lebih konsisten dalam melaksanakan kebajikan dan menghindari perbuatan- perbuatan dosa. Dan sholat yang dilakukan secara berkelanjutan akan menjaga konsistensi itu secara kontinue pula. Sholat juga akan mendidik manusia secara intensif menjadi pribadi-pribadi yang selalu berupaya memperbaiki diri untuk tetap mencari kerhidhoan Allah SWT.

2 komentar:
Write $type={blogger}

Terimakasih atas partisipasinya

regards

mata reality

TRENDING TOPIK

Pentingnya Organisasi Kepemudaan dalam Membangun Bangsa

Organisasi kepemudaan memiliki peran yang sangat penting dalam membantu pelembagaan kepemudaan dan memperkuat identitas nasional di Indonesi...