16 Juni 2014

INDONESIA; DEMOKRASI KEBABLASAN


Semenjak tumbangnya orde baru pada tahun 1998, Pilpres yang merupakan bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004 dan di pilih langsung oleh rakyat. Dimana sebelum itu seorang presiden dan wakil presiden itu di pilih MPR yang terdiri dari wakil rakyat dan cendikiawan-cendikiawan serta perwakilan di setiap daerah seluruh Indonesia. Tanggal 9 juli 2014 ini, seluruh masyarakat Indonesia akan melakukan demokratisasi, pemilihan presiden yang ke-3 kalinya. Tulisan ini tidak menggunakan referensi dari sumber manapun, namun hanyalah kegelisahan dan dialektika penulis melihat gejolak politik yang akhir-akhir ini kita lihat menjelang pemilihan presiden yang terdiri dari 2 (dua) pasang calon presiden dan calon wakil presiden.
 Menurut pandangan penulis yang baru sedikit mengenal tentang arti kata “Demokrasi” , terjadinya kampanye negatif yang pada akhir-akhir ini jadi topik yang hangat di media masa hanya akan mencederai nilai-nilai yang ada pada demokrasi itu sendiri. Pemilihan umum (Pemilu) merupakan suatu instrumen proses pergantian kekuasaan dengan damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi dan sebagai sarana untuk mencapai kedaulatan rakyat. Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat (demokrasi), ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Timbul pertanyaan kedaulatan seperti apa dan ikut serta aktif dalam hal seperti apa? Apakah kedaulatan yang seperti terjadi pada akhir-akhir ini? Pertanyaan di atas  semua berhak menjawab, termasuk penulis sendiri. Menurut saya ini lah yang dikatakan pada Judul tulisan ini “INDONESIA; DEMOKRASI KEBABLASAN”.
Melalui tulisan ini penulis mencoba membandingkan sistem yang sekarang ini dan sistem yang dilakukan Indonesia sebelumnya yang seorang presiden dipilih melalui parlemen. Penulis mempunyai alasan mengapa di katakan seperti demikian, karena sistem “one man one votes” di Indonesia yang menurut penulis tidak relevan dalam sistem demokrasi yang di lakukan melalui pemilihan umum di Indonesia. Melihat yang terjadi pada saat ini ditambah lagi dengan periaku media yang menanggalkan baju independensinya sebagai landasan awal pilar keempat demokrasi. Media cenderung terlihat memihak (tidak netral) terhadap salah satu pasang calon presiden.
Setiap calon pasangan presiden dan calon wakil presiden jelas mempunyai visi dan misi masing-masing dan apabila terpilih, maka akan langsung menjadi program kerjanya. Seorang pemilih yang cerdas harusnya mengerti dan mendalami visi dan misi dari setiap calon presiden tersebut bukan memilih berdasarkan ajakan teman, saudara, keluarga, ataupun karena popularitas sang calon dari media yang jelas memihak. Penulis menganalogikan dengan seorang akademisi yang sudah mendapat gelar guru besar dan seorang nenek-nenek yang bekerja sebagai petani sehari-harinya hanya menghabiskan waktu di ladang. Mereka mempunyai hak suara yang sama, namun secara intelektual dan wawasan orang-orang dapat menilai bahwa sang akademisi jauh lebih mengerti tentang kenegaraan. Tetapi suara mereka tetap sama dan bisa menentukan nasib bangsa 5 (lima) tahun ke depan. Timbul pertanyaan lagi, Kedaulatan seperti inikah yang di inginkan Bangsa Indonesia ?
Penulis di sini mencoba membandingkan sistem di negara lain yang sama menggunakan sistem demokrasi dalam memilih kepala negara. Negara Amerika Serikat melaksanakan pemilihan presiden yang di lakukan dalam 2 (dua) tahap. Tahap pertama biasa di sebut “Popular Votes”, di sini rakyat langsung memilih wakilnya untuk menentukan presidennya,  kemudian yang kedua dengan “Electoral Vote” , dimana hasil dari “Popular Vote” yang terpilih tadi memilih presidennya. Pada sistem seperti di Amerika ini  rakyat memang berhak memilih langsung namun untuk urusan presiden dipilih dalam parlemen.  Sistem tersebut dirasa cukup efektif dan efisien, karena yang memilih presien adalah orang-orang yang telah mampu menganalisis lebih mendalam dan memahami mengenai  visi misi seorang presiden yang calon tersebut. Bisa saja di Amerian Serikat hasil dari suara “Popular Vote” berbeda dengan suara yang di hasilkan oleh “Eloctoral Vote”. Karena secara kapasitas pemilih jelas berbeda, “Popular Vote” ini pemilihan yang di lakukan langsung oleh rakyat , sedangkan “Electoral Vote”(di Indonesia pada sistem dulu MPR) tersebut pemilihan yang di lakukan para yang di pilih melalui “Popular vote”.
Sistem seperti ini sebenarnya pernah di terapkan di Indonesia, namun setelah amandemen UUD 1945 yang ke-4 (empat) sistem ini kemudian di ubah dengan sistem demokratisasi sekarang. Semua warga negara mempunyai hak suara yang sama dalam hal memilih, walaupun secara kapasitas tentunya tidak sama dan tidak semua orang yang secara jauh memikirkan tentang negara. Seperti yang telah di berikan contoh di atas, Apakah efektif dan efesien melakukan kedaulatan rakyat melalui sistem “one man one votes” seperti Indonesia pada saat ini? Salah satu alasan penghapusan sistem sebelumnya menjadi sistem demokrasi saat ini adalah agar masyarakat ikut berperan aktif dalam kehidupan bernegara dan seorang presiden  bertanggung jawab kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Di akhir goresan ini penulis mencoba berpendapat tentang pemilihan presiden di Indonesia pada tahun 2019 mendatang. Dengan di lakukannya pemilihan presiden dan DPR secara serentak dan hapuskannya “Presidensial Thershold”yang di lakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), otomatis setiap yang lolos “Parlementary Threshold” bisa mengajukan calon presiden tanpa koalisi. Sistem ini sebenarnya mempunyai dampak positif dan negatif masing-masing. Dampak positifnya biaya dan waktu pemilu berkurang, serta mengurangi kejenuhan dalam pengulangan pemilih, namun juga memiliki dampak yang negatif, yaitu membuka peluang ketika nantinya presiden yang terpilih sedikit mendapat dukungan dari parlemen dan hal tersebut mengambat presiden dalam melakukan program kerjanya. Akan timbul permasalahan yang sekarang masih menjadi perdebatan yaitu dengan tidak dibolehkannya partai politik yang tahun 2014 ini tidak lolos syarat “Parlementary Threshold” untuk mencalonkan calon presidennya. Hal tersebut masih dalam perdebatan yang panjang ,yang jelas sistem ini nantinya mempunyidampak positif dan negatif tersendiri.
Semoga sedikit tulisan ini jadi bahan refleksi untuk kita. Apakah sistem pemilihan pada saat ini sudah mencapai instrumen yang di amanahkan UUD 1945. Semoga bermanfaat baik bagi penulis sendiri  maupun yang membaca. Tentunya tulisan ini masih sangat banyak kesalahan dan oleh karena itu penulis mengharapkan koreksi dari pembaca tulisan ini bukan untuk menghujat sistem sekarang namun Cuma membantu mengingatkan dan sedikit membagi ilmu pengetahuan tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat..

Tidak ada komentar:
Write $type={blogger}

Terimakasih atas partisipasinya

regards

mata reality

TRENDING TOPIK

Pentingnya Organisasi Kepemudaan dalam Membangun Bangsa

Organisasi kepemudaan memiliki peran yang sangat penting dalam membantu pelembagaan kepemudaan dan memperkuat identitas nasional di Indonesi...