Oleh; Fitrah Insani[1]
Belum lama ini HMI begitu disibukkan dengan
pernyataan Saut Situmorang yang dirasa merusak Citra HMI sebagai Lembaga.
Sehingga kita melihat disana-sini HMI melakukan aksi turun kejalan dan juga
melalui media massa untuk memberikan tekanan terhadap Saut yang telah
menyinggung perasaan Kader-Kader HMI diseluruh Indonesia. HMI menuntut agar
Saut meminta maaf atas tuduhannya terhadap Perkaderan HMI yang disampaikannya
melalui salah satu televisi Swasta. Terlepas dari sikap HMI untuk melakukan
perlawanan atas pernyataan Saut ini, Saya yang merupakan salah satu dari sekian
banyak Kader HMI, selain sepakat terhadap sikap HMI, Saya menginginkan agar HMI
juga melakukan introspeksi terhadap Perkaderan-nya kalau-kalau memang perlu ada
yang kita benahi dalam sistem perkaderan organisasi tercinta ini.
Sering kita mendengar jika Perkaderan HMI
dengan seluruh pernak-perniknya sulit
untuk di generalisasikan dalam suatu pengertian yang sederhana tetapi secara
sepintas mencakup keseluruhan. Sehingga sering muncul asumsi bahwa sebagian
dari kalangan HMI yang lebih konsen dalam soal perkaderan terkhusus dalam
training-training formal HMI, masih belum clear pemahamannya mengenai
Perkaderan itu sendiri. Hal ini sangat wajar dirasakan, sebabnya rentang waktu
ber-HMI sungguh singkat, satu periode kepengurusan untuk masing-masing
jenjangnya hanya satu tahun, hanya Periode kepengurusan setingkat PB HMI yang
masa kepengurusannya 2 tahun, dan dalam waktu yang singkat itu, kader HMI harus
berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui lebih banyak mengenai HMI dan
bagaimana memahami sistem Perkaderannya secara keseluruhan, disamping mereka
harus melaksanakan amanah kepengurusan yang telah dituangkan dalam program
kerja yang terkadang menyita waktu, sehingga fokus untuk memahami Perkaderan
HMI secara utuh tidak sepenuhnya sinergi dengan amanah program kerja, belum
lagi berbicara status mereka sebagai Mahasiswa, tentu selain itu mereka juga
diwajibkan untuk memenuhi amanah perkuliahannya masing-masing. Untuk itu perlu
kiranya memberikan pemahaman yang singkat namun setidaknya dapat memberikan
pemahaman secara garis besar atau setidaknya dapat mengantarkan kepada
pemahaman mengenai perkaderan HMI secara lebih komprehensif, sehingga
harapannya dapat dijadikan acuan dalam memahami arah perkaderan HMI. Sebabnya,
Pedoman Perkaderan HMI yang berdasarkan Konstitusi (hasil-hasil Kongres) yang
apabila diberikan kepada Kader HMI secara mentah-mentah untuk dipahami secara
garis besar, niscaya mereka akan bingung sendiri untuk bagaimana memahaminya.
Membahas mengenai arah Perkaderan HMI[2]
akan selalu dihadapkan dengan tujuan HMI yaitu terbinanya 5 kualitas insan
Cita, (insan Akademis, Pencipta, Pengabdi, yang bernafaskan Islam dan
Bertangung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang dirhidoi
Allah Subhanahu wata’ala), namun kali ini saya akan memfokuskan diri untuk mencoba
mengurainya pada pengertian kualitas terakhir, sebab seingat saya pada tingkat
Komisariat dan Pengurus Cabang seringkali diskusi-diskusi mengenai 5 kualitas
Insan cita, yang lebih banyak pembicaraannya pada 4 kualitas diawal, setidaknya
dengan khazanah yang lain dapat mendekatkan Kader HMI kepada wawasan yang lebih
utuh. Dalam moment tulisan ini saya akan berusaha menjelaskannya dalam Perspektif
tujuan pada point; ,,,bertanggung jawab
atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang dirhidoi Allah Subhanahu
wata’ala, yang akan dikorelasikan dengan tujuan pada tiap jenjang training
Formal HMI yaitu; Basic training, Intermediate Training, dan Advance Training. Dengan
begitu harapannya kita dapat memiliki kerangka pikir untuk mewujudkan tujuan
pada poin tersebut.
Pada jenjang Latihan Kader 1 (Basic Training)
yang menjadi tujuan pada jenjang Latihan ini yaitu; Terbinanya Kepribadian Muslim[3],,,,
terkadang (untuk kasus HMI Cabang Bengkulu) sering disederhanakan menjadi
“adanya perubahan sikap” sehingga pada tahapan LK 1, semestinya lebih
menekankan untuk bagaimana pada jenjang ini peserta Latihan diarahkan agar
dapat mempunyai kepribadian Muslim[4],
memang ada sedikit dilema, sebab, sering kali instruktur atau pengelola
training lebih mengarahkan peserta untuk memiliki sifat kritis atau lebih
cenderung mengarah kepada intelektualitas hal ini bisa dilihat jika tema-tema
yang diangkat untuk LK 1 terkadang lebih cenderung mengangkat tema
intelektualitas, yang mestinya mengangkat tema Muslim. Hal ini tentu baik dan bukanlah
masalah yang berarti. Namun akan menjadi persoalan apabila terlalu menitik
beratkan pada aspek intelektual, sebab, penekanan untuk menjadikan peserta agar
dapat memiliki kepribadian muslim dikhawatirkan secara tidak sengaja telah kehilangan
titik tekannya, atau setidaknya mengalahkan titik tekan agar Peserta memiliki
kepribadian Muslim. Memang selain itu, untuk membentuk kepribadian muslim juga
dipengaruhi oleh bagaimana budaya dikomisariat maupun ditingkat cabang dalam
membina Kader. Kalau melihat dengan kacamata subyektif saya, pasca training LK1
bahwa ada indikasi penitik tekanan terhadap aspek intelektualitas yang
kemungkinan mengalahkan titik tekan untuk membentuk kepribadian Muslim. Hal ini
bisa kita lihat misalnya, pada saat setelah mengikuti Latihan Kader 1, sering
kali ditemui jika anggota-anggota HMI berdiskusi hingga lupa sholat atau
mungkin soal sholat tidak begitu menjadi perhatian.
Oleh karena itu, internalisasi nilai-nilai
pada jenjang LK1 lebih menekankan pada Aspek terbinanya Kepribadian Muslim
tanpa mengenyampingkan Aspek lainnya, sebab jika lebih mengedepankan Aspek
intelektualitas pada jenjang LK 1, dilemanya adalah jika Kader HMI yang
kebetulan hanya sempat mengikuti jenjang LK 1 dan Aspek Kepribadian Muslimnya
belum “duduk” tentu yang akan menjadi kekhawatiran adalah pada saat menjadi
Alumni, mereka memiliki kualitas wawasan intelektual namun sebagai kepribadian muslim
masih setengah-setengah, sehingga tidak menutup kemungkinan setelah memasuki
dunia kerja oleh sebagian alumni HMI
dapat saja cenderung membabi buta, misalnya melakukan Korupsi merupakan hal yang wajar saja terjadi,
sebab kualitas berkpribadian Muslimnya belum mumpuni. Hal ini mudah saja
diterangkan, sebab segala bentuk peribadatan seperti Sholat, Puasa, dan
lainnya, itu supaya kita merasakan kehadiran Tuhan dalam diri, sehingga kita
merasa “diamat-amati” oleh Tuhan atau istilahnya transendensi diri, dalam Al-Quran dijelaskan bahwa “Sholat itu
mencegah perbuatan Keji dan Mungkar” (Qs:Al-Ankabut:45) memang pada
kenyataannya orang yang tidak sholat lebih mudah tergoda untuk melakukan
perbuatan jahat ketimbang orang yang sholat, untuk itu dalam Kepribadian
Muslim, Sholat merupakan indicator pertama[5].
Untuk hasil training yang maksimal tidak
hanya ditentukan berdasarkan sistem pentrainingan yang ada, namun perlu menjadi
catatan bahwa input Peserta untuk mengikuti training perlu pula di seleksi, nah
pada bagian ini ada juga dilemanya bahwa selama ini (untuk Kasus HMI Cabang
Bengkulu) input Peserta yang direkrut untuk mengikuti LK1 sering tidak
diseleksi, sebabnya, pada saat menjelang LK1 peserta yang akan mengikuti
training relatif sedikit, hingga sering kita mendengar jika rekan-rekan pengurus
HMI mengatakan; “kalau mau disaring lagi Pesertanya, LK1-nya nanti bisa batal
sebab tidak mungkin dilaksanakan tanpa peserta”. Disamping itu, Rekruitmen
Peserta LK1 adalah siswa yang rata-rata belum lama menjadi Mahasiswa, mereka
pada dasarnya adalah siswa SMA yang belum lama lulus, hal ini akan terkait juga
bagaimana pendidikan dari mulai SD-SMA yang mereka dapati, sehingga jika sistem
Pendidikan itu baik, tentu akan melahirkan alumni siswa-siswa yang baik pula
secara komunal, namun kita dapati saat ini sistem pendidikan dari Mulai SD
hingga SMA mendapati kritik disana-sini. Selanjutnya, setelah mulai menjadi
Mahasiswa, mereka juga akan bersentuhan dengan sistem kampus dan sekaligus akan
bersentuhan dengan budaya Mahasiswa pada masing-masing kampus tempat mereka
berkuliah yang begitu banyak didapati persoalan, inilah yang menjadi profil
calon-calon peserta LK1 dan sekaligus merupakan kondisi-kondisi yang menyertai HMI dan tentu
sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kualitas anggota-anggota HMI pasca
training terkhusus untuk jenjang LK1.
Selanjutnya,
pada jenjang intermediate atau LK 2 Aspek Penekanannya adalah membangun
intelektualitas Kader, hal ini telah tercantum pada tujuan trainingnya; terbinanya Kader HMI yang mempunyai
kemampuan Intelektual,,, nah,
untuk jenjang ini, peroses penyaringannya lebih mudah untuk dilaksanakan sebab,
berdasarkan pengalaman pada beberapa tahun terakhir melaksanakan LK 2 selalu
dibanjiri oleh Peserta, tinggal lagi bagaimana konsistensi pengelola training agar
dapat menjaring Peserta yang telah memiliki Kepribadian Muslim untuk dapat di
up-grade wawasan intelektualnya melalui sistem training pada jenjang LK 2,
untuk kebutuhan itu pada tahap screaning
dan Pra-screaning disusun persyaratan agar dapat menjaring Peserta yang
telah memiliki kepribadian muslim atau setidaknya yang mengarah pada hal itu,
untuk dapat di ikutkan pada pelatihan tersebut, dan memang selain itu
persyaratan-persyaratan yang lain juga dibutuhkan. Sehingga setelah mengikuti
proses Training dengan upaya yang betul-betul maksimal harapannya para Peserta yang
pada awalnya sedikit banyak telah memiliki Kualitas Kepribadian Muslim juga
dapat memiliki wawasan intelektual, selain itu tentu pasca training peserta
juga diarahkan untuk melanjutkan jenjang kepemimpinan di HMI atau mengemban
amanah kepengurusan yang ditujukan untuk mengemban Misi HMI.
Pada
jenjang LK 2, sering kita dapati bahwa screaning yang dilakukan oleh beberapa
Cabang untuk dapat mengikuti pelatihan tersebut memberikan persyaratan kepada
peserta yang bisa membaca Al-Quran hingga dijadikan salah satu item screaning.
Hal ini bermaksud untuk menekankan bahwa calon peserta yang mengikuti LK 2
adalah yang memiliki kepribadian Muslim, memang pada dasarnya yang lebih tepat
adalah calon peserta yang secara konsisten telah menjalankan syariat misalnya
telah melaksanakan sholat 5 waktu dalam kehidupannya sehari-hari. Namun
persoalannya, hal itu sulit di kenali sebab jika ditanya apakah telah
melaksanakan sholat 5 waktu, calon peserta bisa saja berbohong, sebab calon
Peserta biasanya lebih banyak berasal dari Cabang Luar oleh karena itu bisa
membaca Al-Quran atau tidak, lebih mudah dikenali meski memiliki kelemahannya.
Untuk
jenjang Advance atau LK 3 saya tidak mau berbicara banyak, sebab saya sendiri
belum pernah mengikuti LK 3, dan memang sekali lagi (untuk Kasus HMI cabang
Bengkulu) kader HMI yang telah mengikuti jenjang LK 3 boleh dikatakan sedikit
sekali, satu periode Kepengurusan setingkat cabang belum tentu ada yang
mengikuti LK 3, dan dalam hal ini harus diakui bahwa sikap saya tentu salah dan
tidak layak dijadikan contoh, mudah-mudahan kedepan ini bisa diperbaiki,
setidaknya setiap periode kepengurusan Cabang ada yang mengikuti LK 3 meski
hanya 1 orang.
Pada
jenjang LK3 atau advance Training ini berdasar yang saya pahami bahwa yang
menjadi core-nya yaitu, pengembangan kemampuan professional,[6]
dalam peroses penyaringan Peserta semestinya disusun persyaratan-persyaratan
agar dapat menjaring calon-calon peserta yang memiliki kepribadian Muslim
sekaligus memiliki kemampuan intelektualitas atau secara sederhana bahwa calon
peserta yang dapat mengikuti LK3 adalah yang berprofil muslim-intelektual sehingga pada
proses training tersebut arah pembinaannya adalah untuk mengembangkan kemampuan
professional, yaitu bagaimana pemikiran atau gagasan yang konsepsional dapat diaplikasikan
dalam perbuatan nyata secara professional, sebab pada kenyataannya bahwa
konsep-konsep pembaharuan, perbaikan, pemberdayaan ataupun konsep lainnya agar
dapat diaplikasikan dengan baik perlu dipimpin orang-orang yang mampu
mewujudkannya secara professional, oleh karena sering kita temui bahwa
konsep-konsep pembaharuan ataupun perbaikan tersebut hanya menjadi wacana, atau
misalnya dilaksanakan akan tetapi mudah berantakan atau tidak sesuai dengan
perencanaannya sehingga tidak mampu mencapai target dan tujuan.
Dalam
setiap training HMI mulai Jenjang LK1 hingga LK3 penilaian peserta ditinjau
dalam 3 aspek, yaitu Afektif, Kognitif, dan Psikomotorik. Pada jenjang LK1
karena lebih menitik beratkan agar peserta berkepribadian muslim sehingga pada
jenjang ini untuk bobot penilaian Aspek Afektif menentukan kelulusan peserta
50% sekaligus menjadi bobot tertinggi pada jenjang ini, Aspek penilaian
selanjutnya kognitif 30% dan Psikomotor 20%. Selanjutnya, Pada jenjang LK2,
berkaitan dengan tujuan training, yaitu, agar peserta memiliki kemampuan
intelektual, itulah sebabnya aspek kognitif menjadi penilaian dengan bobot
tertinggi yaitu 40% dan bobot aspek lainnya masing-masing 30%. Namun, pada
jenjang LK3, memang akan terlihat lebih konsisten jika bobot aspek Psikomotorik
lebih tinggi daripada aspek lainnya, akan tetapi bobot aspek penilaian
Psikomotorik dan aspek kognitif sama, yaitu masing-masing 40% dan aspek apektif
20%, hal ini diasumsikan bahwa penilaian aspek psikomotorik dan kognitif
sama-sama menentukan dalam pengembangan kemampuan professional.[7]
Sebagai Organisasi Perkaderan, Arah
Perkaderan yang dilaksanakan HMI yaitu dengan menelurkan Kader dengan Kualitas “Muslim, Intelektual, Professional” yang sekaligus sebagai wujud profil Kader HMI
dimasa mendatang. Jika dikaitkan dengan bagaimana mewujudkan masyarakat adil
dan makmur yang dirhidoi Allah tentu dengan menelurkan Kader-Kader dengan
kualitas tersebut. Hal ini cukup sederhana diterangkan, pada dasarnya kita
menyadari bahwa dalam masyarakat, bangsa, dan Negara yang dalam kehidupan
ekonomi, sosial, kultural, dan lainnya, menghendaki adanya tugas-tugas ataupun
kerja-kerja yang berbeda. Oleh karena itu, untuk bagaimana memakmurkannya yaitu
perlu adanya sumberdaya-sumberdaya manusia yang berkualitas untuk mengelolanya
di setiap lini-lini yang ada.
Memang
sudah semestinya bahwa kerja-kerja yang berbeda yang ada disetiap lini dalam
masyarakat perlu menempatkan orang-orang yang ahli dalam pilihan kerjanya
masing-masing atau biasa disebut sebagai professional. Sebabnya, kesejahteraan
dalam suatu masyarakat hanya dapat diwujudkan apabila masing-masing kerja di
setiap lini yang ada diisi oleh orang yang ahlinya, atau setidaknya diisi oleh
orang-orang yang memiliki potensi untuk dapat menjadi ahlinya dengan terus
mengembangkan kemampuan. Memang selama ini sering kali kita mendengar
issue, bahwa untuk dibengkulu saja misalnya, pelaksanaan-pelaksanaan rekruitment
baik pejabat pemerintah, komisioner, PNS, Polisi, dan recruitment lainnya,
mudah terjebak dibeberapa persoalan, misalnya; kedekatan secara politik,
Nepotisme, bahkan kabarnya sering terjadi “Jual Posisi” dan selain itu kabarnya
pula sering terjadi suap disana sini untuk memudahkannya agar dapat meraih
suatu posisi atau jabatan. Padahal dalam Islam kita sudah diwanti-wanti oleh
Rasulullah dalam sebuah hadistnya;
“Jika suatu jabatan diberikan atau dipegang oleh
orang-orang yang bukan ahlinya, maka tungggulah kehancurannya. (al-hadist)”.
Tentu hal ini akan berdampak langsung bagi masyarakat apabila orang-orang yang
menempati kerja sebagai pimpinan masyarakat ataupun pemerintah adalah
orang-orang yang bukan ahlinya, akibatnya masyarakat tidak dapat mengubah
nasibnya karena dipimpin oleh orang-orang yang tidak mampu bekerja secara professional.
Oleh sebab itu, setiap lini yang ada dalam masyarakat baik itu sektor
pemerintah maupun sektor lainnya hendaknya di isi oleh orang-orang yang dipilih
berdasarkan kualitas-kualitas yang dimilikinya dan selanjutnya dapat menjadi
professional dalam bidang kerjanya masing-masing.
Billahitaufiq walhidayah
[1] Penulis pernah menjadi pengurus HMI
Cabang Bengkulu pada periode 2011-2012 dan periode 2012-2013, dan mengemban
amanah kepengurusan sebagai Ketua Bidang Pembinaan Anggota.
[2] Arah dalam pengertian umum adalah petunjuk
yang membimbing jalan dalam bentuk bergerak menuju suatu tujuan. Maka yang
dimaksud dengan Arah Perkaderan HMI adalah suatu Pedoman yang dijadikan petunjuk
untuk penuntun yang menggambarkan arah yang harus dituju dalam keseluruhan
peroses perkaderan HMI. (lihat hasil-hasil Kongres HMI ke XXVIII hal. 368)
[3] Untuk redaksi lengkapnya pada tujuan
Basic Training atau LK1 adalah “terbinanya Kepribadian Muslim yang berkualitas akademis, sadar akan fungsi dan peranannya
dalam berorganisasi serta hak dan kewajibannya sebagai kader umat dan kader
bangsa”. (lihat hasil-hasil Kongres HMI ke XXVIII hal. 371)
[4] Muslim adalah kata pelaku dari Islam
dan Islam sendiri diartikan sebagai sikap berpasrah diri atau tunduk patuh
kepada Allah, dalam konteks latihan Kader 1, yaitu mengarahkan peserta untuk
berkpribadian muslim yang aspek keberhasilannya dilihat berdasarkan adanya “perubahan
sikap” yang lebih ditekankan pembentukan integritas watak dan kepribadian, dengan
indicator penilaian teknisnya adanya kesadaran Anggota untuk menjalankan
syariat misalnya Sholat, Puasa, dan amalan-amalan lainnya.
[5] Item pertama dari target Training
LK1 adalah; memiliki kesadaran menjalankan ajaran Islam dalam kehidupan
sehari-hari. (lihat hasil-hasil Kongres HMI ke XXVIII hal. 371)
[6] Untuk redaksi lengkapnya tujuan
Training Formal advance training atau LK 3 adalah “terbinanya Kader pemimpin
yang mampu menterjemahkan dan mentransformasikan pemikiran konsepsional secara professional dalam gerak perubahan
social” (lihat hasil-hasil Kongres HMI ke XXVIII hal. 371)
[7]
Lihat hasil-hasil Kongres HMI
ke XXVIII hal. 400
.
.
Tidak ada komentar:
Write $type={blogger}Terimakasih atas partisipasinya
regards
mata reality