22 Februari 2017

FUNGSIONALISASI LEBIH PENTING DARI PADA TERMAKAN GENGSI

Oleh : Aldhora Reginald Natha
Mata Reality || Indonesia sebagai negara kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke memiliki kekayaan yang cukup baik sumberdaya

09 Desember 2016

RESOLUSI KONFLIK TAMBANG BENGKULU


Oleh : HMI Cabang Bengkulu


Mata Reality || Secara umum, proses pertambangan terbagi atas 4 tahapan, yakni tahap pra konstruksi, tahap konstruksi, tahap operasional produksi dan tahap pasca produksi.

08 Desember 2016

Recruitment VS Basic Training (Latihan Kader I)



 Benny Putra ( Dirut BPL Cabang Bengkulu periode 2015-2016)
Mata Reality || Istilah Recruitment seringkali kita pahami sebagai proses langkah awal seseorang untuk masuk dan bergabung kedalam sebuah organisasi atau perusahaan, atau sebuah sistem penerimaan yang dibuat organisasi atau perusahaan untuk mendapakkan anggota baru dan mengisi kekosongan posisi berdasarkan kebutuhan organisasi atau perusahaan. Latihan Kader 1 adalah sebuah jenjang training awal di Himpunan mahasiswa Islam ( kemudian disebut HMI), yang bertujuan membentuk pola pikir, sikap dan karakter mahasiswa muslim ( calon ) anggota HMI. Seringkali kita (anggota HMI) memaknai bahwasanya Latihan Kader 1 sebagai proses “perubahan sikap” calon anggota HMI. Padahal proses tersebut juga berlaku bagi seluruh pengelola training ( panitia, pengurus, dan steering commite ). Dalam konteks ini, Latihan Kader 1 bukan hanya berbicara tentang

07 Desember 2016

UANG KULIAH TUNGGAL



Oleh : M.Yudha Iasa Ferrandy
Mata Reality  -  Andai boleh tanya pada teman-teman, apakah tahu hakikat dari Perguruan Tinggi?
Pada dasarnya hakikat dari Perguruan Tinggi adalah Sumber Daya Manusianya, ialah Mahasiswa, bukanlah Kampusnya. Dalam hal ini bukan semata-mata tidak menganggap eksistensi kampus, tapi ada tidaknya bahkan maju atau turunnya sebuah Perguruan Tinggi sangatlah “bergantung” pada kualitas Mahasiswanya. Mengedepankan kualitas Mahasiswa berarti harus siap memfasilitasi kebutuhan dan kepentingannya dalam menggapai ilmu.

06 Desember 2016

Masihkah HMI?




 
Oleh : Benny Putra 
Mata Reality || Himpunan Mahasiswa Islam atau lebih familiar dikenal HMI yang di dalamnya terhimpun mahasiswa-mahasiswa muslim ( yang bukan hanya beragama dan mendalami Islam tetapi menjalankan dan mensyiarkan Islam ), yang didalamnya terhimpun mahasiswa yang mempunyai

10 Oktober 2016

Merenungkan Pelaksanaan Training-Training HMI; Upaya mengembalikan Kerangka Dasar Arah Perkaderan




Belum lama ini HMI begitu disibukkan dengan pernyataan Saut Situmorang yang dirasa merusak Citra HMI sebagai Lembaga. Sehingga kita melihat disana-sini HMI melakukan aksi turun kejalan dan juga melalui media massa untuk memberikan tekanan terhadap Saut yang telah menyinggung perasaan Kader-Kader HMI diseluruh Indonesia. HMI menuntut agar Saut meminta maaf atas tuduhannya terhadap Perkaderan HMI yang disampaikannya melalui salah satu televisi Swasta. Terlepas dari sikap HMI untuk melakukan perlawanan atas pernyataan Saut ini, Saya yang merupakan salah satu dari sekian banyak Kader HMI, selain sepakat terhadap sikap HMI, Saya menginginkan agar HMI juga melakukan introspeksi terhadap Perkaderan-nya kalau-kalau memang perlu ada yang kita benahi dalam sistem perkaderan organisasi tercinta ini.
Sering kita mendengar jika Perkaderan HMI dengan seluruh pernak-perniknya  sulit untuk di generalisasikan dalam suatu pengertian yang sederhana tetapi secara sepintas mencakup keseluruhan. Sehingga sering muncul asumsi bahwa sebagian dari kalangan HMI yang lebih konsen dalam soal perkaderan terkhusus dalam training-training formal HMI, masih belum clear pemahamannya mengenai Perkaderan itu sendiri. Hal ini sangat wajar dirasakan, sebabnya rentang waktu ber-HMI sungguh singkat, satu periode kepengurusan untuk masing-masing jenjangnya hanya satu tahun, hanya Periode kepengurusan setingkat PB HMI yang masa kepengurusannya 2 tahun, dan dalam waktu yang singkat itu, kader HMI harus berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui lebih banyak mengenai HMI dan bagaimana memahami sistem Perkaderannya secara keseluruhan, disamping mereka harus melaksanakan amanah kepengurusan yang telah dituangkan dalam program kerja yang terkadang menyita waktu, sehingga fokus untuk memahami Perkaderan HMI secara utuh tidak sepenuhnya sinergi dengan amanah program kerja, belum lagi berbicara status mereka sebagai Mahasiswa, tentu selain itu mereka juga diwajibkan untuk memenuhi amanah perkuliahannya masing-masing. Untuk itu perlu kiranya memberikan pemahaman yang singkat namun setidaknya dapat memberikan pemahaman secara garis besar atau setidaknya dapat mengantarkan kepada pemahaman mengenai perkaderan HMI secara lebih komprehensif, sehingga harapannya dapat dijadikan acuan dalam memahami arah perkaderan HMI. Sebabnya, Pedoman Perkaderan HMI yang berdasarkan Konstitusi (hasil-hasil Kongres) yang apabila diberikan kepada Kader HMI secara mentah-mentah untuk dipahami secara garis besar, niscaya mereka akan bingung sendiri untuk bagaimana memahaminya.
Membahas mengenai arah Perkaderan HMI[2] akan selalu dihadapkan dengan tujuan HMI yaitu terbinanya 5 kualitas insan Cita, (insan Akademis, Pencipta, Pengabdi, yang bernafaskan Islam dan Bertangung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang dirhidoi Allah Subhanahu wata’ala), namun kali ini saya akan memfokuskan diri untuk mencoba mengurainya pada pengertian kualitas terakhir, sebab seingat saya pada tingkat Komisariat dan Pengurus Cabang seringkali diskusi-diskusi mengenai 5 kualitas Insan cita, yang lebih banyak pembicaraannya pada 4 kualitas diawal, setidaknya dengan khazanah yang lain dapat mendekatkan Kader HMI kepada wawasan yang lebih utuh. Dalam moment tulisan ini saya akan berusaha menjelaskannya dalam Perspektif tujuan pada point; ,,,bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang dirhidoi Allah Subhanahu wata’ala, yang akan dikorelasikan dengan tujuan pada tiap jenjang training Formal HMI yaitu; Basic training, Intermediate Training, dan Advance Training. Dengan begitu harapannya kita dapat memiliki kerangka pikir untuk mewujudkan tujuan pada poin tersebut.
Pada jenjang Latihan Kader 1 (Basic Training) yang menjadi tujuan pada jenjang Latihan ini yaitu; Terbinanya Kepribadian Muslim[3],,,, terkadang (untuk kasus HMI Cabang Bengkulu) sering disederhanakan menjadi “adanya perubahan sikap” sehingga pada tahapan LK 1, semestinya lebih menekankan untuk bagaimana pada jenjang ini peserta Latihan diarahkan agar dapat mempunyai kepribadian Muslim[4], memang ada sedikit dilema, sebab, sering kali instruktur atau pengelola training lebih mengarahkan peserta untuk memiliki sifat kritis atau lebih cenderung mengarah kepada intelektualitas hal ini bisa dilihat jika tema-tema yang diangkat untuk LK 1 terkadang lebih cenderung mengangkat tema intelektualitas, yang mestinya mengangkat tema Muslim. Hal ini tentu baik dan bukanlah masalah yang berarti. Namun akan menjadi persoalan apabila terlalu menitik beratkan pada aspek intelektual, sebab, penekanan untuk menjadikan peserta agar dapat memiliki kepribadian muslim dikhawatirkan secara tidak sengaja telah kehilangan titik tekannya, atau setidaknya mengalahkan titik tekan agar Peserta memiliki kepribadian Muslim. Memang selain itu, untuk membentuk kepribadian muslim juga dipengaruhi oleh bagaimana budaya dikomisariat maupun ditingkat cabang dalam membina Kader. Kalau melihat dengan kacamata subyektif saya, pasca training LK1 bahwa ada indikasi penitik tekanan terhadap aspek intelektualitas yang kemungkinan mengalahkan titik tekan untuk membentuk kepribadian Muslim. Hal ini bisa kita lihat misalnya, pada saat setelah mengikuti Latihan Kader 1, sering kali ditemui jika anggota-anggota HMI berdiskusi hingga lupa sholat atau mungkin soal sholat tidak begitu menjadi perhatian.
Oleh karena itu, internalisasi nilai-nilai pada jenjang LK1 lebih menekankan pada Aspek terbinanya Kepribadian Muslim tanpa mengenyampingkan Aspek lainnya, sebab jika lebih mengedepankan Aspek intelektualitas pada jenjang LK 1, dilemanya adalah jika Kader HMI yang kebetulan hanya sempat mengikuti jenjang LK 1 dan Aspek Kepribadian Muslimnya belum “duduk” tentu yang akan menjadi kekhawatiran adalah pada saat menjadi Alumni, mereka memiliki kualitas wawasan intelektual namun sebagai kepribadian muslim masih setengah-setengah, sehingga tidak menutup kemungkinan setelah memasuki dunia kerja  oleh sebagian alumni HMI dapat saja cenderung membabi buta, misalnya melakukan  Korupsi merupakan hal yang wajar saja terjadi, sebab kualitas berkpribadian Muslimnya belum mumpuni. Hal ini mudah saja diterangkan, sebab segala bentuk peribadatan seperti Sholat, Puasa, dan lainnya, itu supaya kita merasakan kehadiran Tuhan dalam diri, sehingga kita merasa “diamat-amati” oleh Tuhan atau istilahnya transendensi diri, dalam Al-Quran dijelaskan bahwa “Sholat itu mencegah perbuatan Keji dan Mungkar” (Qs:Al-Ankabut:45) memang pada kenyataannya orang yang tidak sholat lebih mudah tergoda untuk melakukan perbuatan jahat ketimbang orang yang sholat, untuk itu dalam Kepribadian Muslim, Sholat merupakan indicator pertama[5].
Untuk hasil training yang maksimal tidak hanya ditentukan berdasarkan sistem pentrainingan yang ada, namun perlu menjadi catatan bahwa input Peserta untuk mengikuti training perlu pula di seleksi, nah pada bagian ini ada juga dilemanya bahwa selama ini (untuk Kasus HMI Cabang Bengkulu) input Peserta yang direkrut untuk mengikuti LK1 sering tidak diseleksi, sebabnya, pada saat menjelang LK1 peserta yang akan mengikuti training relatif sedikit, hingga sering kita mendengar jika rekan-rekan pengurus HMI mengatakan; “kalau mau disaring lagi Pesertanya, LK1-nya nanti bisa batal sebab tidak mungkin dilaksanakan tanpa peserta”. Disamping itu, Rekruitmen Peserta LK1 adalah siswa yang rata-rata belum lama menjadi Mahasiswa, mereka pada dasarnya adalah siswa SMA yang belum lama lulus, hal ini akan terkait juga bagaimana pendidikan dari mulai SD-SMA yang mereka dapati, sehingga jika sistem Pendidikan itu baik, tentu akan melahirkan alumni siswa-siswa yang baik pula secara komunal, namun kita dapati saat ini sistem pendidikan dari Mulai SD hingga SMA mendapati kritik disana-sini. Selanjutnya, setelah mulai menjadi Mahasiswa, mereka juga akan bersentuhan dengan sistem kampus dan sekaligus akan bersentuhan dengan budaya Mahasiswa pada masing-masing kampus tempat mereka berkuliah yang begitu banyak didapati persoalan, inilah yang menjadi profil calon-calon peserta LK1 dan sekaligus merupakan  kondisi-kondisi yang menyertai HMI dan tentu sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kualitas anggota-anggota HMI pasca training terkhusus untuk jenjang LK1.
         Selanjutnya, pada jenjang intermediate atau LK 2 Aspek Penekanannya adalah membangun intelektualitas Kader, hal ini telah tercantum pada tujuan trainingnya; terbinanya Kader HMI yang mempunyai kemampuan Intelektual,,, nah, untuk jenjang ini, peroses penyaringannya lebih mudah untuk dilaksanakan sebab, berdasarkan pengalaman pada beberapa tahun terakhir melaksanakan LK 2 selalu dibanjiri oleh Peserta, tinggal lagi bagaimana konsistensi pengelola training agar dapat menjaring Peserta yang telah memiliki Kepribadian Muslim untuk dapat di up-grade wawasan intelektualnya melalui sistem training pada jenjang LK 2, untuk kebutuhan itu pada tahap screaning  dan Pra-screaning disusun persyaratan agar dapat menjaring Peserta yang telah memiliki kepribadian muslim atau setidaknya yang mengarah pada hal itu, untuk dapat di ikutkan pada pelatihan tersebut, dan memang selain itu persyaratan-persyaratan yang lain juga dibutuhkan. Sehingga setelah mengikuti proses Training dengan upaya yang betul-betul maksimal harapannya para Peserta yang pada awalnya sedikit banyak telah memiliki Kualitas Kepribadian Muslim juga dapat memiliki wawasan intelektual, selain itu tentu pasca training peserta juga diarahkan untuk melanjutkan jenjang kepemimpinan di HMI atau mengemban amanah kepengurusan yang ditujukan untuk mengemban Misi HMI.
         Pada jenjang LK 2, sering kita dapati bahwa screaning yang dilakukan oleh beberapa Cabang untuk dapat mengikuti pelatihan tersebut memberikan persyaratan kepada peserta yang bisa membaca Al-Quran hingga dijadikan salah satu item screaning. Hal ini bermaksud untuk menekankan bahwa calon peserta yang mengikuti LK 2 adalah yang memiliki kepribadian Muslim, memang pada dasarnya yang lebih tepat adalah calon peserta yang secara konsisten telah menjalankan syariat misalnya telah melaksanakan sholat 5 waktu dalam kehidupannya sehari-hari. Namun persoalannya, hal itu sulit di kenali sebab jika ditanya apakah telah melaksanakan sholat 5 waktu, calon peserta bisa saja berbohong, sebab calon Peserta biasanya lebih banyak berasal dari Cabang Luar oleh karena itu bisa membaca Al-Quran atau tidak, lebih mudah dikenali meski memiliki kelemahannya.
         Untuk jenjang Advance atau LK 3 saya tidak mau berbicara banyak, sebab saya sendiri belum pernah mengikuti LK 3, dan memang sekali lagi (untuk Kasus HMI cabang Bengkulu) kader HMI yang telah mengikuti jenjang LK 3 boleh dikatakan sedikit sekali, satu periode Kepengurusan setingkat cabang belum tentu ada yang mengikuti LK 3, dan dalam hal ini harus diakui bahwa sikap saya tentu salah dan tidak layak dijadikan contoh, mudah-mudahan kedepan ini bisa diperbaiki, setidaknya setiap periode kepengurusan Cabang ada yang mengikuti LK 3 meski hanya 1 orang.
         Pada jenjang LK3 atau advance Training ini berdasar yang saya pahami bahwa yang menjadi core-nya yaitu, pengembangan kemampuan professional,[6] dalam peroses penyaringan Peserta semestinya disusun persyaratan-persyaratan agar dapat menjaring calon-calon peserta yang memiliki kepribadian Muslim sekaligus memiliki kemampuan intelektualitas atau secara sederhana bahwa calon peserta yang dapat mengikuti LK3 adalah yang berprofil  muslim-intelektual sehingga pada proses training tersebut arah pembinaannya adalah untuk mengembangkan kemampuan professional, yaitu bagaimana pemikiran atau gagasan yang konsepsional dapat diaplikasikan dalam perbuatan nyata secara professional, sebab pada kenyataannya bahwa konsep-konsep pembaharuan, perbaikan, pemberdayaan ataupun konsep lainnya agar dapat diaplikasikan dengan baik perlu dipimpin orang-orang yang mampu mewujudkannya secara professional, oleh karena sering kita temui bahwa konsep-konsep pembaharuan ataupun perbaikan tersebut hanya menjadi wacana, atau misalnya dilaksanakan akan tetapi mudah berantakan atau tidak sesuai dengan perencanaannya sehingga tidak mampu mencapai target dan tujuan.
         Dalam setiap training HMI mulai Jenjang LK1 hingga LK3 penilaian peserta ditinjau dalam 3 aspek, yaitu Afektif, Kognitif, dan Psikomotorik. Pada jenjang LK1 karena lebih menitik beratkan agar peserta berkepribadian muslim sehingga pada jenjang ini untuk bobot penilaian Aspek Afektif menentukan kelulusan peserta 50% sekaligus menjadi bobot tertinggi pada jenjang ini, Aspek penilaian selanjutnya kognitif 30% dan Psikomotor 20%. Selanjutnya, Pada jenjang LK2, berkaitan dengan tujuan training, yaitu, agar peserta memiliki kemampuan intelektual, itulah sebabnya aspek kognitif menjadi penilaian dengan bobot tertinggi yaitu 40% dan bobot aspek lainnya masing-masing 30%. Namun, pada jenjang LK3, memang akan terlihat lebih konsisten jika bobot aspek Psikomotorik lebih tinggi daripada aspek lainnya, akan tetapi bobot aspek penilaian Psikomotorik dan aspek kognitif sama, yaitu masing-masing 40% dan aspek apektif 20%, hal ini diasumsikan bahwa penilaian aspek psikomotorik dan kognitif sama-sama menentukan dalam pengembangan kemampuan professional.[7]






Sebagai Organisasi Perkaderan, Arah Perkaderan yang dilaksanakan HMI yaitu dengan menelurkan Kader dengan Kualitas “Muslim, Intelektual, Professional yang sekaligus sebagai wujud profil Kader HMI dimasa mendatang. Jika dikaitkan dengan bagaimana mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang dirhidoi Allah tentu dengan menelurkan Kader-Kader dengan kualitas tersebut. Hal ini cukup sederhana diterangkan, pada dasarnya kita menyadari bahwa dalam masyarakat, bangsa, dan Negara yang dalam kehidupan ekonomi, sosial, kultural, dan lainnya, menghendaki adanya tugas-tugas ataupun kerja-kerja yang berbeda. Oleh karena itu, untuk bagaimana memakmurkannya yaitu perlu adanya sumberdaya-sumberdaya manusia yang berkualitas untuk mengelolanya di setiap lini-lini yang ada.
         Memang sudah semestinya bahwa kerja-kerja yang berbeda yang ada disetiap lini dalam masyarakat perlu menempatkan orang-orang yang ahli dalam pilihan kerjanya masing-masing atau biasa disebut sebagai professional. Sebabnya, kesejahteraan dalam suatu masyarakat hanya dapat diwujudkan apabila masing-masing kerja di setiap lini yang ada diisi oleh orang yang ahlinya, atau setidaknya diisi oleh orang-orang yang memiliki potensi untuk dapat menjadi ahlinya dengan terus mengembangkan kemampuan. Memang selama ini sering kali kita mendengar issue, bahwa untuk dibengkulu saja misalnya, pelaksanaan-pelaksanaan rekruitment baik pejabat pemerintah, komisioner, PNS, Polisi, dan recruitment lainnya, mudah terjebak dibeberapa persoalan, misalnya; kedekatan secara politik, Nepotisme, bahkan kabarnya sering terjadi “Jual Posisi” dan selain itu kabarnya pula sering terjadi suap disana sini untuk memudahkannya agar dapat meraih suatu posisi atau jabatan. Padahal dalam Islam kita sudah diwanti-wanti oleh Rasulullah dalam sebuah hadistnya; “Jika suatu  jabatan diberikan atau dipegang oleh orang-orang yang bukan ahlinya, maka tungggulah kehancurannya. (al-hadist)”. Tentu hal ini akan berdampak langsung bagi masyarakat apabila orang-orang yang menempati kerja sebagai pimpinan masyarakat ataupun pemerintah adalah orang-orang yang bukan ahlinya, akibatnya masyarakat tidak dapat mengubah nasibnya karena dipimpin oleh orang-orang yang tidak mampu bekerja secara professional. Oleh sebab itu, setiap lini yang ada dalam masyarakat baik itu sektor pemerintah maupun sektor lainnya hendaknya di isi oleh orang-orang yang dipilih berdasarkan kualitas-kualitas yang dimilikinya dan selanjutnya dapat menjadi professional dalam bidang kerjanya masing-masing.
Billahitaufiq walhidayah



[1] Penulis pernah menjadi pengurus HMI Cabang Bengkulu pada periode 2011-2012 dan periode 2012-2013, dan mengemban amanah kepengurusan sebagai Ketua Bidang Pembinaan Anggota.
[2] Arah dalam pengertian umum adalah petunjuk yang membimbing jalan dalam bentuk bergerak menuju suatu tujuan. Maka yang dimaksud dengan Arah Perkaderan HMI adalah suatu Pedoman yang dijadikan petunjuk untuk penuntun yang menggambarkan arah yang harus dituju dalam keseluruhan peroses perkaderan HMI. (lihat hasil-hasil Kongres HMI ke XXVIII hal. 368)
[3] Untuk redaksi lengkapnya pada tujuan Basic Training atau LK1 adalah “terbinanya Kepribadian Muslim yang berkualitas akademis, sadar akan fungsi dan peranannya dalam berorganisasi serta hak dan kewajibannya sebagai kader umat dan kader bangsa”. (lihat hasil-hasil Kongres HMI ke XXVIII hal. 371)
[4] Muslim adalah kata pelaku dari Islam dan Islam sendiri diartikan sebagai sikap berpasrah diri atau tunduk patuh kepada Allah, dalam konteks latihan Kader 1, yaitu mengarahkan peserta untuk berkpribadian muslim yang aspek keberhasilannya dilihat berdasarkan adanya “perubahan sikap” yang lebih ditekankan pembentukan integritas watak dan kepribadian, dengan indicator penilaian teknisnya adanya kesadaran Anggota untuk menjalankan syariat misalnya Sholat, Puasa, dan amalan-amalan lainnya.
[5] Item pertama dari target Training LK1 adalah; memiliki kesadaran menjalankan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. (lihat hasil-hasil Kongres HMI ke XXVIII hal. 371)
[6] Untuk redaksi lengkapnya tujuan Training Formal advance training atau LK 3 adalah “terbinanya Kader pemimpin yang mampu menterjemahkan dan mentransformasikan pemikiran konsepsional secara professional dalam gerak perubahan social” (lihat hasil-hasil Kongres HMI ke XXVIII hal. 371)
[7] Lihat hasil-hasil Kongres HMI ke XXVIII hal. 400
.

21 Mei 2015

MENAGIH JANJI REFORMASI







Oleh : VERDI DWIANSYAH


Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan sebagai Presiden setelah memangku jabatan selama 32 tahun memimpin Republik Indonesia, adalah Gerakan Reformasi 1998 yang di motori oleh Mahasiswa, pemuda, dan berbagai komponen Bangsa dalam setiap penjuru Tanah Air telah mengambil peran sebagai satu kekuatan menggulingkan puncak kekuasaan Rezim Orde Baru yang dikenal dengan Kepemimpinan dan sistem pemerintahan yang otoriter.

27 November 2014

“ Krisis Sastra, Krisis Karakter Bangsa “

Oleh:
Kurniana
Sastra merupakan karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Karya sastra berarti karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Sastra memberikan wawasan yang umum tentang manusiawi, sosial, maupun intelektual, dengan caranya yang khas. Pembaca sastra dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan wawasannya sendiri (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Sastra juga merupakan pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia ( Mursal Esten : 1978). Dengan kata lain sastra merupakan salah satu bagian dari kekayaan budaya dan peradaban suatu bangsa. Sastra juga mampu menunjukkan jati diri suatu bangsa yang sekaligus menjaga suatu bangsa dari arus modernisasi lewat pesan moral yang terkandung didalamnya.
Akan tetapi, bagaimana fungsi sastra dapat berpengaruh luas terhadap Indonesia jika masyarakat Indonesia sendiri kurang peduli terhadap sastra.Budaya untuk gemar membaca sastra diawali dengan rasa senang untuk membaca.Namun, menurut data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 yang menunjukkan bahwa masyarakat kita belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Masyarakat Indonesia lebih banyak tertarik dan memilih untuk menonton TV (85,9%) dan atau mendengarkan radio (40,3%) disbanding membaca koran (23,5%).
Hasil penelitian yang dilakukan Tim Program of International Student Assessment (PISA) Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas menunjukkan kemahiran membaca anak usia 15 tahun di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekitar 37,6 persen hanya bias membaca tanpa bias menangkap maknanya dan 24,8 persen hanya bias mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan (Kompas, 2 Juli 2003). Hal ini juga diungkapkan oleh mantan Wakil menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Musliar Kasim,bahwa minat baca anak-anak di Tanah Air masih rendah ( Antara News, 5 November 2012 ).
Modernisasi yang berkembang pesat saat ini juga mengubah cara pandang sebagian besar pemuda Indonesia yang seolah-olah menenggelamkan sastra yang membawanya pada kepunahan.Dimata generasi muda, sastra merupakan hal yang kuno dan terbelakang yang menyebabkan kurangnnya minat untuk membaca ,memahami, atau membuat karya sastra itu sendiri.
Disisi lain, sastra juga dianggap sebagai suatu bacaan yang susah untuk dipahami, dilihat dari bahasa yang digunakan, cerita yang diangkat ,serta pesan yang ingin disampaikan sangat kompleks. Hal ini juga yang menjadi penyebab kurangnya minat pemuda untuk membaca karya sastra.Padahal, Sastra bukan sekedar bacaan yang berfungsi untuk menghibur ,namun sastra juga dapat menyentuh pribadi kehidupan manusia, menunjang keterampilan, meningkatkan pengetahuan , mengembangkan rasa karsa , serta membentuk watak ( Moody dalam Rizanur Gani, 1988 ). Pengembangan rasa karsa menyangkut pengembangan sensasi motor yang memadu aktifitas fisik dan sensitifitas rasa, pengembangan kecendikiaan, yaitu proses logis yang mengandung persepsi akurat, interpretasi bahasa dengan formulasi yang serasi, pengembangan perasaan yang melibatkan rasa serta emosi, dan pengembangan rasa social yaitu kesadaran sikap yang didasarkan pada pengertian dan minat terhadap lingkungan, sampai kepada perubahan positif dalam menjunjung tingg inilai-nilai budaya bangsa yang wujudnya nasional.
Sastra diciptakan dengan kreativitas yang tinggi, bersifat fiktif namun merupakan hasil pengamatan, hasil tanggapan, fantasi, perasaan, pikiran, dan merupakan kehendak tentang dunia nyata.Dalam sastra kenyataan hidup ditampilkan secara menakjubkan.Itulah sebabnya“ sastra menjadi sebuah cermin atau gambar mengenai kenyataan “ ( Luxemburg ,1984 ). Tolstoy juga mengungkapkan bahwa sastra mempunyai tugas suci yang dapat dijadikan alat untuk membuka hati orang, bahkan dalam keutuhan bentuknya, sastra dapat menyentuh pribadi kehidupan manusia, menunjang keterampilan berbahasa, dan pembentukan watak seseorang.
Sayangnya, kurangnya minat tersebut berakibat pada merosotnya sikap – sikap serta karakter pemuda Indonesia yang ditiru lewat karya-karya seni modern yang dianggap lebih menyenangkan.Bagaimana tidak, dilihatdari jam bermain anak-anak Indonesia masih sangat tinggi.Sebagai perbandingan, anak-anak di Korea dan Vietnam yang mengabiskan waktu mereka untuk belajar dan membaca bersama.
Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia belum menyadari pentingnya sastra bagi suatu bangsa yang mampu menciptakan karakter baik bagi bangsanya.Perilaku konsumtif terhadap karya seni modern yang bersifat mejauhkan dari jati diri bangsa malah semakin digemari. Krisis sastra di negeri sendiri ini juga menunjukkan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap perubahan sikap generasi muda kearah negatif yang mulai meniru budaya asing tanpa penyaringan yang ketat.
Artinya, gemar terhadap sastra merupakan salah satu cara yang harus dijaga agar karakter tersebut dapat dilestarikan, karena sastra mengambil peranan penting terhadap pertahanan karakter yang dilihat dari fungsi sastra itu sendiri yang menunjukkan bahwa sastra bukan sekedar bacaan yang berfungsi untuk menghibur tapi juga mampu membawa perubahan positif terhadap sikap dalam menjunjung tinggi nilai-nilai budaya bangsa.


TRENDING TOPIK

Pentingnya Organisasi Kepemudaan dalam Membangun Bangsa

Organisasi kepemudaan memiliki peran yang sangat penting dalam membantu pelembagaan kepemudaan dan memperkuat identitas nasional di Indonesi...