Konsep
keadilan dalam hubungan relasi Rumah Tangga
(dalam perspektif peran dan
fungsi laki-laki dan perempuan ditinjau dari sisi kontruksi sosial masyarakat)
Keadilan adalah hak semua
manusia! Ya.. manusia. Baik dia peremuan ataupun laki-laki, mereka punya hak
keadilan yang sama sebagai manusia.
Kita
semua sepakat bahwa keadilan harus ditegakan atas upaya pencapaian rasa nyaman
menuju sebuah tujuan bersama yaitu kesejahteraan bagi seluruh manusia. Namun
kita juga tidak menisbikan realitas atas adanya keberbedaan antara keadilan
yang seharusnya ada. Beberapa orang bersepakat bahwa keadilan adalah sebuah bentuk
kesamaan yang jelas secara materil
antara laki-laki dan perempuan. Sementara beberapa lainnya bersepakat bahwa
keadilan adalah adanya sebuah bentuk pemenuhan kebutuhan yang sesuai
(berdasarkan pada asas kebutuhan) antara laki-laki dan perempuan. Berangkat
dari konsepsi keadilan yang masih berbeda inilah kemudian hadir sebuah kondisi
dimana antara laki-laki dan perempuan belum mendapatkan keadilan dalam konsepsi
mereka masing-masing.
Hal
ini juga terjadi dalam hal perwujudan keadilan dan kesetaraan gender sebagai
asas dalam pemenuhan hak asasi manusia, yang ternyata hanya dapat tercapai bila
pengetahuan mengenai konstruksi social atau gender, pengalaman ketubuhan
perempuan, sudut pandang, kebutuhan dan kepentingan perempuan terintegrasi
dalam keseluruhan tatanan pengetahuan. Situasi sosial budaya terkait relasi
gender menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin (biologis) diinterpretasi
secara sosial melalui mitos sosialisasi, budaya, kebijakan pemerintah, dan
hukum serta praktik yang lebih menguntungkan laki-laki, sekaligus tidak adil
bagi perempuan, yang antara lain dapat dilihat dari stereotip atau pelabelan
negatif, subordinasi, peminggiran atau marjinalisasi, beban majemuk, dan
kekerasan berbasis gender yang menjadikan perempuan sebagai korban kebanyakan.
Hal
ini kemudian berdampak pada hubunganan relasi Rumah Tangga yang tidak tepat
dalam kesepakatan sebuah pandangan, yang seringkali menimbulkan konsep hirarki
structural yang menempatkan struktur juga kedudukan masing-masing peran secara
berbeda, dan cenderung mengabaikan fungsi bahwa keberadaan kerja-kerja Rumah
Tangga adalah untuk mencapai sebuah visi
yang sama, bukan untuk menyatakan dominasi atas satu peran kepada peran lainnya.
Fenomena
yang seringkali terjadi hari ini adalah bagaimana penempatan peran dan fungsi
seorang ibu atau istri dalam rumah tangga dianggap lebih rendah dari peran ayah
atau suami yang bekerja dan mendapatkan upah secara materil dan dianggap
sebagai titik ukur dalam pemenuhan kebutuhan Rumah Tangga. Anggapan atas
keistimewaan laki-laki sebagai pemilik kuasa tertinggi sebagai seorang pencari
nafkah inilah yang kemudian menimbulkan penyingkiran kerja perempuan baik
sebagai istri atau ibu. Bahwa kerja perempuan dalam relasi Rumah Tangga disini
dianggap sebagai peran kedua karena fungsi domestik yang dijalankannya tidak
mendapatkan upah atau gaji secara materil seperti halnya laki-laki.
Namun,
mari coba kita evaluasi kembali, bahwa kerja-kerja antara perempuan dan
laki-laki dalam hubungan relasi Rumah Tangga disini tidak dapat berdiri sendiri
dan dipisahkan begitu saja. Bahwa keduanya adalah sebuah kesepakatan dan
komitment untuk membangun sebuah visi atau tujuan secara bersama, bukan
perorangan.
Sebuah
evaluasi Rumah tangga, menyeret analisa saya pada fenomena menarik mengenai
relasi Rumah Tangga. Kesepakatan dalam sebuah bangunan relasi Rumah Tangga
ternyata menghadirkan konsepsi keadilan baru dalam konteks relasi Rumah Tangga.
Sebuah bangunan yang sederhana namun tidak dapat dipisahkan begitu saja dalam
kontruksi bangunan sebuah relasi tersebut. Konsep sederhana tersebut saya
analogikan dalam sebuah cerita berikut:
Bahwa setiap bulan, Saya anggaplah
sebagai seorang suami menyerahkan hasil kerja saya dikantor kepada istri saya.
Dan saya katakana kepada istri saya, bahwa ini adalah gaji kita ma. Meski hanya
saya yang secara fisik hadir dan bekerja dikantor sedangkan istri saya dirumah.
Namun ini adalah hasil kerjasama kami sebagai relasi Rumah Tangga. Karena
begini, kalo saya tidak dibantu oleh istri saya dalam menyelesaikan urusan
rumah seperti memasak sarapan sebelum saya kekantor, memncuci baju yang saya
gunakan untuk kekantor atau kerja-kerja domestic lainnya, maka saya jelas tidak
bisa kerja kekantor sehingga dapat menghasilkan uang atau gaji seperti ini.
Sebenarnya
ini adalah gambaran dari sebuah impian saya tentang sebuah bangunan relasi
Rumah Tangga. Karena secara tegas saya menolak konruksi sosial masyarakat hari
ini mengenai Ibu Rumah Tangga. Status Ibu Rumah Tangga selama ini dianggap
sebagai status yang tidak berstatus, maksusdnya diabaikan dan tidak dianggap
penting oleh masyarakat. Padahal bisa kita lihat dari analogi yang saya gambarkan
sebelumnya, bahwa setiap anggota Rumah Tangga membangun keberdayaan!, artinya
tidak hanya keberdayaan diri sendiri sebagai suami atau istri yang digunakan
namun kerjasama atas keberdayaan tersebutlah yang menciptakan keadilan dalam
sebuah relasi Rumah Tangga.
Dapat kita temukan sebuah simpulan bukan?
bahwa kita seharusnya membangun sebuah konsepsi keadilan pada sebuah relasi
suatu Rumah Tangga, yaitu dalam bentuk kerjasama antara seorang suami dengan
seorang istri dalam hal kesepakatan pemenuhan kebutuhan Rumah Tangga. Konsep
yang terbangun adalah bukan mengenai hak pribadi antara laki-laki dan
perempuan, namun yang terbangun adalah sebuah konsep pemenuhan hak bersama
dalam relasi hubungan Rumah Tangga sebagai suami dan istri tanpa mengabaikan
hak laki-laki dan perempuannya sebagai manusia yang dalam hal ini memiliki
kebebasan dan hak atas penghargaan kerja dan hak sebagai manusia yang memiliki
peran fungsi masing-masing dalam eksistensinya sebagai manusia untuk mencapai
tujuan bersama yang mensejahterakan kedua-duanya. Bukan hanya laki-laki. Bukan
juga hanya perempuan semata.
Keadilan
relasi Rumah Tangga, ada soal pembagian ruang kerja atas dasar kesadaran diri
laki-laki dan perempuan. Maka perlu disadari bangunan kesadaran yang digunakan
adalah sebuah bangunan kesadaran yang berkeadilan dan berkesetaraan.
Tulisan ini didedikasikan untuk mereka para
perempuan yang memilih peran dirinya sebagai seorang Ibu Rumah Tangga.
*Penulis
adalah Mahasiswa Jurusan Komunikasi, FISIP di Universitas Bengkulu