“Kan kau tahu bagaimana Gelap, Ketika telah kau temukan Terang”
Jauh telah Kartini meninggalkan massa nya. Masa ketika kata emansipasi masih diteriakkan dibagian bumi Indonesia. Ketika penindasan, diskriminasi dan ketidakmerdekaan milik sebagian besar perempuan. Sekarang tidak lagi kita menyapa emansipasi. Karena siapa yang mau diteriakkan untuk kata kemerdekaan atau keterwakilan perempuan diberbagai tempat. Baik itu dipendidikan, ekonomi, politik, maupun budaya dan adat istiadat. Sekarang sudah masanya kita berbicara keadilan dan kesetaraan manusia. Ya, kita seakan berbicara bagai sebuah musim yang akan berganti pada setiap massa nya. Jika memang demikian, maka waktu memang pemberi jawaban yang paling bijak.
Ruang dan waktu telah menunjukkan kita sebuah dokumentasi sejarah penting. Ketika 1879 – 1904, seorang perempuan Jepara hidup dalam lingkungan yang ia anggap tak ada kemerdekaan bagi dirinya, perempuan dan perempuan-perempuan yang lain untuk duduk sejajar dengan laki-laki sebagai “manusia”. Pendidikan hanya milik laki-laki, dan perempuan harus puas sampai titik bisa membaca dan menulis saja, itupun hanya sebagian kecil. Selanjutnya menghabiskan hidup di rumah dan melayani suami. Kartini menumpahkan nya dalam tulisan-tulisan kepada sahabat Eropanya, yang lebih lama ia kenal lewat surat-surat yang penuh dengan dialektika.
Tapi kini masa nya telah berbeda. Masa sekarang, yang mungkin tak kan terbayang oleh Kartini untuk hidup dan berkembang di Negara Indonesia. Demokrasi dengan seluruh kemerdekaan masing-masing warga Negara atas nama, Hak Asasi Manusia. Semuanya dilindungi, dan sama dimata hukum. Tapi tidak dimata manusia dan konstruksi masyarakat Indonesia. Ketimpangan dan ketikadilan masih terjadi dimana saja.
Kata emansipasi memang bukan lagi di gunakan untuk sekarang. Kartini dan beberapa perempuan lain pada saat itu berjuang bagaimana perempuan terlibat dan dilibatkan untuk berdiskusi dengan laki-laki, memperoleh pendidikan, bahkan ikut dalam penentuan kebijakan. Namun ruang itu sekarang telah terbuka lebar. Ketika suara-suara perempuan sudah mulai diperhitungkan. Sebesar 30 % ruang yang diberikan untuk perempuan mengisi bangku parlemen. Artinya, jauh lebih besar dari sebelumnya yang hanya dapat di hitung dengan jari. Bahkan pada masa orde baru pun, perempuan sengaja dipisahkan ruang geraknya dari laki-laki, dengan berdirinya organisasi PKK, Dharmawanita, dan lain-lain. Orde baru yang seharusnya menjadi wadah perempuan untuk tampil. Karena orientasi yang lebih mengedepankan kepada kesetaraan gender.
Besaran 30 % yang diberikan oleh perempuan sudah semestinya dapat merepresentasikan kepentingan perempuan dalam ranah kebijakan dan penganggaran. Misalnya mengenai kesehatan, yang jangan kan untuk perempuan, untuk masyarakat umum kurang mampu pun, masih menjadi polemic sehingga quo vadis wakil rakyat di parlemen kembali dipertanyakan. Benar, ketidakadilan masih tetap mengakar hingga sekarang.
Akan ada keterkaitan antara politik, perempuan dan kesadaran, yang ketiganya bagai sebuah irisan yang akan saling membutuhkan. Perempuan, bukan sebagai pelengkap parlemen. Adanya perempuan diparlemen bukan juga hanya sebagai pemenuhan kebijakan 30 %. Namun ada agenda-agenda moril yang harus di suarakan oleh perempuan-perempuan ketika berbicara mengenai kemanusiaan dan kemaslahatan perempuan. Perspektif serta pemahaman yang cukup terhadap kondisi kekinian mengenai perempuan sudah menjadi keharusan bagi perempuan-perempuan sebagai wakil dari suara jutaan perempuan Indonesia.
Mengangkat kasus perempuan, pada saat ini bisa dikatakan sudah sangat kompleks. Tantangan bagi perempuan yang ada diparlemen adalah selain “melawan” suara mayoritas laki-laki, mereka juga terkungkung pada system yang catur marut. Sudah seharusnya perempuan meletakkan visi awal mereka untuk membangun, atau mewakili suara perempuan.namun mereka harus mengikuti system yang ada, atau mengikuti “aturan main partai” yang mengusungnya. Pada masa kampanye berlangsung, dari beberapa perempuan ingin masuk sebagai calon, hanya beberapa secara konkrit berbicara perempuan. Sedang yang lainnya hanya berisikan jargon-jargon kamufelasi ketika kita kaitkan dengan realita sekarang.
Kita butuh sosok Kartini itu sekarang. Perjuangan dan keinginannya untuk perempuan lepas dari masa kebodohan karena tidak dapat memperoleh pendidikan dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Berjuang tidak melalui “tangan kosong”. Namun ketekunan, dan pemahaman yang jelas bagi perjuangan yang akan ia lakukan. Kartini membaca banyak buku. Sudah seharusnya perempuan yang akan duduk sebagai anggota dewan atau yang telah terpilih, kembali mengevaluasi pemahaman dan kecerdasan mereka dalam melihat kondisi.
Untuk perempuan ku: “Ketika kesempitan yang hadir, maka akan kau rindukan sebuah kesempatan yang pernah kau sia-siakan. Maka, ketika kesempatan telah hadir, hanya satu yang harus kau lakukan. BERTINDAKLAH!! Hanya sebuah omong kosong, ketika kau hanya mampu berbicara dan mengkritik. Namun tak pernah kau lihat kurang diri mu. Tak pernah kau lakukan langkah memperbaiki kualitas mu”
Jauh telah Kartini meninggalkan massa nya. Masa ketika kata emansipasi masih diteriakkan dibagian bumi Indonesia. Ketika penindasan, diskriminasi dan ketidakmerdekaan milik sebagian besar perempuan. Sekarang tidak lagi kita menyapa emansipasi. Karena siapa yang mau diteriakkan untuk kata kemerdekaan atau keterwakilan perempuan diberbagai tempat. Baik itu dipendidikan, ekonomi, politik, maupun budaya dan adat istiadat. Sekarang sudah masanya kita berbicara keadilan dan kesetaraan manusia. Ya, kita seakan berbicara bagai sebuah musim yang akan berganti pada setiap massa nya. Jika memang demikian, maka waktu memang pemberi jawaban yang paling bijak.
Ruang dan waktu telah menunjukkan kita sebuah dokumentasi sejarah penting. Ketika 1879 – 1904, seorang perempuan Jepara hidup dalam lingkungan yang ia anggap tak ada kemerdekaan bagi dirinya, perempuan dan perempuan-perempuan yang lain untuk duduk sejajar dengan laki-laki sebagai “manusia”. Pendidikan hanya milik laki-laki, dan perempuan harus puas sampai titik bisa membaca dan menulis saja, itupun hanya sebagian kecil. Selanjutnya menghabiskan hidup di rumah dan melayani suami. Kartini menumpahkan nya dalam tulisan-tulisan kepada sahabat Eropanya, yang lebih lama ia kenal lewat surat-surat yang penuh dengan dialektika.
Tapi kini masa nya telah berbeda. Masa sekarang, yang mungkin tak kan terbayang oleh Kartini untuk hidup dan berkembang di Negara Indonesia. Demokrasi dengan seluruh kemerdekaan masing-masing warga Negara atas nama, Hak Asasi Manusia. Semuanya dilindungi, dan sama dimata hukum. Tapi tidak dimata manusia dan konstruksi masyarakat Indonesia. Ketimpangan dan ketikadilan masih terjadi dimana saja.
Kata emansipasi memang bukan lagi di gunakan untuk sekarang. Kartini dan beberapa perempuan lain pada saat itu berjuang bagaimana perempuan terlibat dan dilibatkan untuk berdiskusi dengan laki-laki, memperoleh pendidikan, bahkan ikut dalam penentuan kebijakan. Namun ruang itu sekarang telah terbuka lebar. Ketika suara-suara perempuan sudah mulai diperhitungkan. Sebesar 30 % ruang yang diberikan untuk perempuan mengisi bangku parlemen. Artinya, jauh lebih besar dari sebelumnya yang hanya dapat di hitung dengan jari. Bahkan pada masa orde baru pun, perempuan sengaja dipisahkan ruang geraknya dari laki-laki, dengan berdirinya organisasi PKK, Dharmawanita, dan lain-lain. Orde baru yang seharusnya menjadi wadah perempuan untuk tampil. Karena orientasi yang lebih mengedepankan kepada kesetaraan gender.
Besaran 30 % yang diberikan oleh perempuan sudah semestinya dapat merepresentasikan kepentingan perempuan dalam ranah kebijakan dan penganggaran. Misalnya mengenai kesehatan, yang jangan kan untuk perempuan, untuk masyarakat umum kurang mampu pun, masih menjadi polemic sehingga quo vadis wakil rakyat di parlemen kembali dipertanyakan. Benar, ketidakadilan masih tetap mengakar hingga sekarang.
Akan ada keterkaitan antara politik, perempuan dan kesadaran, yang ketiganya bagai sebuah irisan yang akan saling membutuhkan. Perempuan, bukan sebagai pelengkap parlemen. Adanya perempuan diparlemen bukan juga hanya sebagai pemenuhan kebijakan 30 %. Namun ada agenda-agenda moril yang harus di suarakan oleh perempuan-perempuan ketika berbicara mengenai kemanusiaan dan kemaslahatan perempuan. Perspektif serta pemahaman yang cukup terhadap kondisi kekinian mengenai perempuan sudah menjadi keharusan bagi perempuan-perempuan sebagai wakil dari suara jutaan perempuan Indonesia.
Mengangkat kasus perempuan, pada saat ini bisa dikatakan sudah sangat kompleks. Tantangan bagi perempuan yang ada diparlemen adalah selain “melawan” suara mayoritas laki-laki, mereka juga terkungkung pada system yang catur marut. Sudah seharusnya perempuan meletakkan visi awal mereka untuk membangun, atau mewakili suara perempuan.namun mereka harus mengikuti system yang ada, atau mengikuti “aturan main partai” yang mengusungnya. Pada masa kampanye berlangsung, dari beberapa perempuan ingin masuk sebagai calon, hanya beberapa secara konkrit berbicara perempuan. Sedang yang lainnya hanya berisikan jargon-jargon kamufelasi ketika kita kaitkan dengan realita sekarang.
Kita butuh sosok Kartini itu sekarang. Perjuangan dan keinginannya untuk perempuan lepas dari masa kebodohan karena tidak dapat memperoleh pendidikan dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Berjuang tidak melalui “tangan kosong”. Namun ketekunan, dan pemahaman yang jelas bagi perjuangan yang akan ia lakukan. Kartini membaca banyak buku. Sudah seharusnya perempuan yang akan duduk sebagai anggota dewan atau yang telah terpilih, kembali mengevaluasi pemahaman dan kecerdasan mereka dalam melihat kondisi.
Untuk perempuan ku: “Ketika kesempitan yang hadir, maka akan kau rindukan sebuah kesempatan yang pernah kau sia-siakan. Maka, ketika kesempatan telah hadir, hanya satu yang harus kau lakukan. BERTINDAKLAH!! Hanya sebuah omong kosong, ketika kau hanya mampu berbicara dan mengkritik. Namun tak pernah kau lihat kurang diri mu. Tak pernah kau lakukan langkah memperbaiki kualitas mu”
Tidak ada komentar:
Write $type={blogger}Terimakasih atas partisipasinya
regards
mata reality