18 Juli 2014

Curhatan Seorang Ibu

Oleh: Ketua Umum Kohati HMI Cabang Bengkulu

Entah ibunya siapa "Rumahmu di mana, nak? Orang bilang anakku
seorang aktivis.  

Kata mereka namanya tersohor
dikampusnya sana.

Orang bilang anakku seorang
aktivis,Dengan segudang kesibukan yang disebutnya
amanah umat .

Orang bilang
anakku seorang aktivis.Tapi
bolehkah aku sampaikan
padamu nak?

Ibu bilang
engkau hanya seorang putra kecil ibu yang lugu. Anakku,sejak mereka
bilang engkau seorang aktivis ibu kembali
mematut diri menjadi ibu
seorang aktivis .

Dengan segala kesibukkanmu, ibu berusaha mengerti betapa
engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat, Ibu sungguh mengerti itu nak...
Tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini
adalah sesuatu yang sia-sia nak ? Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk
membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak, tanpa pernah ibu berfikir bahwa
itu adalah waktu yang sia-sia.

Anakku, kita memang berada disatu atap nak,diatap yang sama saat dulu
engkau bermanja dengan ibumu ini .
Tapi kini dimanakah rumahmu nak? ibu tak lagi melihat jiwamu
di rumah ini .

Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu dirumah,dengan penuh doa agar Allah senantiasa
menjagamu .

Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut, Mungkin
tawamu telah habis hari ini,tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu merindukanmu .

Ah,lagi-lagi  .......  

Ibu terpaksa harus mengerti, bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak
mampu lagi tersenyum untuk ibu .

Atau jangankan untuk tersenyum,sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja
engkau engkau,katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline.

Padahal,andai kau tahu nak,ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari
ini,memastikan engkau baik-baik saja,memberi sedikit nasehat yang ibu
yakin engkau pasti lebih tahu.

Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau nak,tapi bukankah aku ini ibumu ? yang 9 bulan waktumu engkau habiskan didalam rahimku..

Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk nak. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu, engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu.

Engkau nampak amat peduli dengan semua itu, ibu bangga padamu. Namun,sebagian
hati ibu mulai bertanya nak,kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu
ini nak ? Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu ?

kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik- adikmu nak? Apakah adik- adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu nak?

Anakku,ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu.Saat engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan keluargamu. Memang nak,menghabiskan
waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat,tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kaulakukan.

Tapi bukankah keluargamu ini adalah tugasmu juga nak?
bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga nak?
Anakku,ibu mencoba membuka buku agendamu .Buku agenda sang aktivis.Jadwalmu begitu padat nak,ada rapat disana sini, ada jadwal mengkaji,ada jadwal bertemu dengan tokoh- tokoh penting.

Ibu membuka lembar demi lembarnya, disana ada sekumpulan agendamu,ada sekumpulan mimpi dan harapanmu.Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada disana.Ternyata memang tak ada nak,tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini.Tak ada cita-cita untuk ibumu ini .

Padahal nak,andai engkau tahu sejak kau ada dirahim ibu tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu selain cita dan agenda untukmu ,putra kecilku.. Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka,mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional.

Boleh ibu bertanya nak,dimana profesionalitasmu untuk ibu ?dimana
profesionalitasmu untuk keluarga ? Dimana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat?  Ah, waktumu terlalu mahal nak.Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu.."

Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya. Pun pertemuan dengan orang tercinta, ibu, ayah, kakak dan adik. Akhirnya tak mundur sedetik tak maju sedetik. Dan hingga saat itu datang,jangan sampai yang tersisa hanyalah penyesalan.
Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu tuk diucapkan.

Tentang rindu kebersamaan yangterlambat teruntai......

17 Juni 2014

Naskah Roro, oleh Rara


Perempuan itu, namanya Roro dan Rara. Gadis kembar yang diberkahi semesta dengan kecantikan layaknya selir-selir raja. Sayang Roro harus meninggal dan Rara menjadi gila. Layaknya kutukan, kampung Pala yang kehilangan ikan meski berada dipinggir pesisir. Kematian Roro dan Rara yang menjadi gila membuat kampung Pala makin suram kehilangan asa.
Entah sejak kapan Kampung Pala menjadi krisis ikan. Meski begitu orang-orang tetap saja bertahan hidup dan tinggal dipesisir pantai ini. Tidak sebagai nelayan memang, kebanyakan orang-orang kampung menjadi buruh garam dan kuli pasir. Semesta masih menyisakan kebaikan untuk kampung ini, meski ikan tak ada, tapi material lain pantai tetap menghasilkan uang.
Mereka Roro dan Rara yang begitu dipuja oleh orang-orang kampung, namun juga dicibir oleh para perempuan pesisir lainnya, karena keirian. Roro dan Rara memang tak memiliki kulit gelap dan rambut kaku seperti halnya oang-orang yang tinggal dipesisir. Kulit mereka kuning langsat dengan rambut lurus jatuh yang hitam. Tak heran jika keberbedaan fisik mereka menjadi bahan omongan orang-orang pesisir, terutama para pemuda-pemuda pesisir.
Roro dan Rara gemar menggunakan sayak (Dress perempuan dengan model pinggang yang ramping) selutut dengan motif bunga yang membuat kecantikan keduanya semakin sempurna. Meski tak berdandan dengan make up mahal, keduanya memiliki kecatikan yang diturunkan oleh para dewi. Adalah Ibu Kades yang begitu gemar menjahit baju-baju cantik untuk kedua anaknya. Hal ini juga dilakukan sebagai upaya promosi atas kreasi tangannya. Benar saja banyak yang akhirnya memesan baju kepada Ibu kades. Memesan baju persis seperti yang dipakai oleh kedua anaknya. Meski gadis-gadis kampung pesisir tahu, baju mirip yang dipesannya tak akan membuatnya menyaingi kecantikan Roro dan Rara.
Tapi tak lama semesta mengizinkan kecantikan mereka sebagai anugrah. Luka sesegera menghampiri mereka. Sebuah tragedi besar dan mengerikan terjadi dan menghapus keindahan keduanya. Menjadi kutukan yang menyisakan kengerian bagi orang-orang kampung. Roro dan Rara tinggallah kecantikan yang ditimbun sejarah. Kampung Pala benar-benar dikutuk para Dewa.
Sekarang, Rara dipasung dan diasingkan di kandang bekas, belakang rumahnya. Atas kengerian yang diciptakannya. Ibunya terpaksa harus memasung dan membungkam mulutnya dengan kain, Karena Rara terus meneriakan kata-kata Kami Diperkosa! Oleh mereka pemerkosa bercelana biru!Kami diperkosa! Kami diperkosa! Beberapa saat setelah penguburan Roro kakaknya.
Umpatan pilu yang terus saja diteriakan sejak kematian Roro adalah tragedi besar yang mengusik Kampung Pala. Maka orang-orang yang resah atas umpatan Rara meminta Ibu Kades untuk memasungnya. Sebenarnya orang-orang kampung tak sampai hati melakukannya. Tapi demi mimpi buruk yang terus menghantui akibat umpatan Rara, hal tersebut terpaksa harus dilakukan.
Kengerian ini berawal dari tragedi malam kamis saat pesta ulang tahun Kampung Pala, beberapa minggu yang lalu. Layaknya sebuah pesta. Kemeriahan dan suka cita perayaan menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh setiap orang di kampung Pala. Begitu pun dengan Roro dan Rara. Dua gadis anak Pak Kades ini adalah yang menjadi penanggung jawab atas terselenggaranya perhelatan besar kampungnya.
Persiapan telah dilakukan berhari-hari lalu. Mulai dari menghias jalanan dengan tirai panjang yang terbuat dari botol air mineral gelas yang di cat warna merah biru. Dipasang berderet sepanjang jalan di kampung Pala. Lalu mengganti cat Balai desa dengan warna putih susu, agar terlihat kemegahannya sebagai tempat yang digunakan sebagai panggung utama acara. Orkes dangdut ternama didatangkan langsung dari kota sebagai pengisi acara hiburan. Kampung Pala terlalu lama hidup dalam kesunyian.
Anak-anak pesisir dilatih untuk menari. Sebuah tarian yang dipercaya dapat mendatangkan keberkahan bagi kampung Pala disiapkan menjadi penampilan pembuka acara. Meski semua orang tahu, tarian tersebut tak akan membawa keberkahan laut adalah atas ikan-ikan dan ekositem lainya. Namun Kampung Pala adalah kampung pesisir yang tak memiliki keberkahan itu. Sudah sejak betahun-tahun lalu. Bahkan bau amisnya saja tak tercium.
Tiba saat perhelatan besar kampung berlangsung, semua orang berkumpul di pelataran balai desa kampung. Tua muda semua hadir untuk memeriahkan acara. Keindahan dekorasi dan lampu-lampu malam yang dipasang di sekitaran balai semakin bercahaya saat Roro dan Rara hadir. Keduanya mengenakan sayak merah hitam selutut dengan lengan terbuka yang menawan. Dengan ikatan pita berwarna silver di pinggangnya. Juga bando silver di kepala Roro dan Jepitan Kupu-kupu berwarna silver disemat cantik di rambut Rara. Tentu saja sayak tersebut di jahit langsung oleh Ibu mereka, khusus dikenakan untuk acara besar kampung Pala. 
Kemeriahan berlangsung semalam suntuk. Orkes dangdut terus saja menggoyang orang-orang dengan lagu-lagunya. Ada tiga penyanyi perempuan disiapkan untuk menghibur kampung selama semalam suntuk. Semuanya orang larut dalam joget yang menggairahkan, entah sesendu dan sesedih apa lagu yang dinyanyikan, para penyanyi tetap saja bergoyang panas diatas panggung.
Pukul 01.00 dini hari. Roro mengajak adiknya Rara untuk pulang karena sudah mengantuk.
Yang tersisa tinggal para muda-mudi saja. Ayah dan Ibu dan para orang tua telah pulang. 

Ayo kita pulang. Aku lelah ingin tidur dirumah.
Sebentar yu, kita habiskan satu lagu ini setelahnya kita pulang. Mbakyu duduk saja dulu nanti tak ampiri kalo selesai jogetnya.
Jangan lama-lama, nanti Ayah dan Ibu khawatir kita belum pulang selarut ini.
Ah, paling mereka sudah terlelap kecapekan. Lagian ini kan acara kampung kita sendiri, semua orang kenal kita.
Iyalah, cepat. Aku tunggu disana, aku sudah ngantuk ini.
Iya iyaa…
 
Roro mengambil kursi dipojok keramaian. Menyusunnya dan meletakan kedua kakinya diatas kursi. Menyesuaikan duduk agar nyaman dan dapat tertidur sejenak sambil menunggu adiknya.
Tepuk tangan meriah disambut suit-suit para pemuda menggema sesaat setelah lagu berakhir dinyanyikan sang biduan. Rara mendesah. Ia ingin melanjutkan jogetnya, tapi kakaknya sudah mengajaknya pulang. Dia mundur dari kerumunan dan menuju kakaknya untuk pulang.
Dalam perjalanan pulang keduanya bertemu dengan empat orang pemuda bercelana biru. Pemuda itu mencegat keduanya. Menggoda dan memaksa keduanya untuk ikut bersama mereka. Roro dan Rara jelas saja menolak. Tapi pemuda-pemuda tidak main-main, mereka memaksa dan menyeret kedua gadis itu bersama mereka.
Teriakan pilu Rara, memecah keheningan malam. Disampaing Pabrik Garam, di ujung Pesisir kampung Rara memangku tubuh kakaknya yang telah berdarah tertusuk perutnya. Keduanya diperkosa, dan karena Roro melakukan perlawanan  akhirnya dibunuh dan setelahnya ditinggal atas kepanikan pemuda-pemuda itu. Malangnya Rara dibiarkan hidup dan menyaksikan kakaknya diperkosa lalu ditusuk oleh pemuda-pemuda itu. Sejak kejadian malam itu, Rara kehilangan jiwanya. Rara gila!

Tapi untungnya sebelum gila, Rara menuliskan sebuah naskah. Rara berusaha bercerita tentang kematian kakaknya yang diperkosa oleh pemuda-pemuda pesisir yang mengenakan celana biru. Dia menuliskannya di atas karung bekas pembungkus garam dengan tinta darah kakaknya. Naskah-naskah itu ditempel oleh Rara di dinding-dinding pabrik garam. Hampir menutup semua bagian dinding pabrik tersebut.
Lalu setelahnya Rara melepas semua pakaiannya. Tubuhnya yang kuning langsat dibiarkanya begitu saja terbuka. Perlahan Rara duduk disamping mayat kakaknya dan mengoles darah kakaknya kesekujur tubuhnya. Kini tubuhnya  berubah menjadi merah dan berbau amis.
Saat matahari terbit dari singgah sana, Rara berjalan pulang menggendong mayat Kakaknya. Keduanya tanpa busana dan berlumuran darah. Dua gadis yang dipuji dengan keberkahan semesta kini menjadi seperti kutukan bagi orang-orang kampung. Beberapa pemuda berlari terbirit-birit saat melihat-nya, meski beberapa yang lain sempat mengintip bagian tubuh Rara yang tetap jelas telihat meski telah berlumur darah dalam temaram cahaya subuh. Tak ada yang berani mendekat. Bahkan orang-orang alim hanya menutup mata dan mengucapkan kalimat Tuhan tanpa melakukan apa-apa ataupun bertanya, saat Rara melewati Masjid menuju rumahnya. Semua orang sudah tak punya pandangan nurani lagi.
Sampai pada pintu depan rumahnya, Rara menendang pintu mencoba membangunkan isi Rumah. Perempuan dan Laki-laki Paruh baya yang adalah Ayah dan Ibunya, membuka pintu dan terbelalak menyaksikan kedua putrinya. Sang Ibu menjerit dan Pingsan seketika, sementara sang Ayah tak punya jantung yang cukup kuat untuk menyaksikan adegan mengerikan tersebut. Tak lama, kemudian kemanusiaan orang-orang kampung terutama tetangganya mulai terpanggil, lalu menghampiri rumah Kepala Desa, lebih karena tak enak oleh jeritan Ibu Kades dan ketakutan mereka kepada Kepala Desa.
Roro dan Rara terbaring dalam kasur putih, masih dengan tubuh berlumur darah. Hanya Roro terbaring dalam kematiannya yang menyedihkan, sedang Rara terbaring dengan kematian jiwanya ditinggal saudara kembarnya Roro.
Sekarang, akhirnya Kampung Pala berbau amis. Sayangnya bukan karena amis ikan, tapi amis darah Roro malang yang berbekas di udara. Juga coretan naskah darah Rara yang masih tertempel di dinding-dinding pabrik garam. Entah kenapa, tak ada satupun yang berani melepas naskah tersebut. Mungkin takut akan tuduhan bahwa yang melepas tulisan adalah pelaku pemerkosaan Roro.
Sekarang pabrik garam yang berdiri tak cukup kokoh itu, dengan dinding-dinding kayu rapuh berubah menjadi suram dalam kengerian naskah-naskah Rara.
 
Kami diperkosa oleh pemuda bercelana biru.
Vagina kami dicabik lalu ditusuk dan berdarah.
Sayak Kami dirobek tanpa ampun.
Jiwa kami kini mati.
Meski hanya aku yang masih bernafas!
Ingatan ku mencatat, Kami diperkosa oleh pemuda bercelana biru
       

16 Juni 2014

Nyaman


Ditengah terik dan panasnya teriakan protes dalam aksi demo pelataran gedung mewah Legislatif daerah Bengkulu. Akhir-akhir ini kasus kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat. Majalah, Koran ataupun pemberitaan dimedia-media mainstream sibuk memberitakan kasus-kasus baru tentang pemerkosaan atau pencabulan terhadap perempuan. Sepertinya dunia memang sudah mendekati deadline kiamat.
Citra, perempuan “jalan” ini masih saja setia dengan toa nya, membacakan lembaran-lembaran tuntutan terkait penyelesaian isu-isu yang marak akhir-akhir ini. Entah ada gunanya atau tidak suaranya tetap lantang meneriakan keadilan dan perlindungan. Meski sebenarnya ia sadar deretan polisi yang menjaga atu bahkan tukang sapu jalanan pun tak menggubris apa teriakan nya, tapi setidaknya yang sedang tidur di dalam gedung megah itu terusik hingga akhirnya memilih menutup telinga. Kadang memang perjuangan tak seperti yang diinginkan. Beginilah kompetisi kehidupan, yang sering disebut sebagai hukum alam.
***
Jam 14.00, Citra merebahkan tubuhnya disofa. Teriak-teriak seharian ternyata membuatnya cukup kelelahan hingga akhirnya tertidur. Ruangan kerjanya lumayan nyaman untuk beristirahat dan menghilangkan emosi sisa demo tadi.
Kantor ini adalah LSM yang begerak dalam wilayah-wilayah kerja advokasi dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Tak banyak yang merelakan waktunya untuk mengurusi kerja-kerja kemanusiaan tanpa kejelasan hidup seperti ini. Melakukan kegiatan dalam orientasi penolongan, namun hidupnya sendiri pun kadang tak tertolong.
Siluet mentari sore ternyata tak membiarkan Citra berlama-lama dalam mimpinya. Citra terbangun dan mengeliat menyamankan dirinya dalam lelah. Maka tak lama dari pintu seorang muda yang tampan dengan setelan kemeja dan celana necis berdiri meletakan helm sembari melepas sarung tangannya. Menghampiri Citra dan memberinya botol kecil berisi air mineral. Setelah lelah berdemo dan tertidur cukup membuat citra kehilangan ion tubuh, dehidrasi. Maka tanpa sungkan diambilnya botol itu dan diminumnya hingga habis tanpa sisa.
Pria tampan itu mengusap sisa minum dibibirnya, dan kini citra terjaga seutuhnya dari tidurnya. Kantor terlihat sepi, artinya sudah diizinkan untuk mereka pulang dan meninggalkan kantor segera. Maklum terkadang penghuni lain kantor ini terlalu nakal jika hari mulai gelap dan kehilangan mentari.
***
Motor terparkir disebuah rumah makan. Suasana sore yang begitu ramai, ah! Iya ternyata hari ini weekend. Pantas banyak pameran manusia menghiasi jalan dan antri demi mendapatkan waktu untuk menghantarkan mentari tenggelam diujung pantai. Kali ini masih Citra dengan tampilan yang lebih bak dari sebelumnya, mengenakan setelan jeans dan kaos creamnya, dengan sepatu cat andalannya yang manis, sangking manisnya mungkin semut pingsan lewat disampingnya. Citra bersama Pria tampan yang tetap saja menawan dengan setelan celana dan kemeja santai yang tetap rapi.
Satu minuman datang disambut dengan adegan romantic, dimulai dengan memandangi mentari yang mulai pamit undur diri dari sinarnya dan menyulap awan menjadi jingga kemerahan yang cantik. Dan ombak masih saja setia memecah sunyi yang merdu dan menawan dengan buih-buihnya yang terdampar dipasir menyandung bebatuan pinggir pantai.
***
Pukul 22.00, masih saja setia dengan rapat dan masih saja berdialektika dengan isu-isu yang setia mengusik aktivis perempuan ini. Ada yang kurang sepertinya, sang orator demo ternyata dicari karena belum menampakan batang hidungnya juga sampai selarut ini. Sigap saja salah satu diantaranya mengambil HP dan memeriksa keberadaan temannya yang ditunggu tersebut.
***
Dilain tempat HP diangkat. Mengiyakan, lantas berlalu kesebuah tempat yang menunggu kedatangannya sedari tadi.
***
Tak lama kemudian Citra telah berada di depan kantor. Citra masuk lalu beberapa saat kemudian kemarahan-kemarahan kecil menyambut kedatanganya.
Seorang yang sedang asik membaca buku menghempas bukunya sesaat melihat kedatangan citra. “Kemaren teriak-teriak ama koruptor. Sekarang dia sendiri yang ngorup waktu! Gak konsisten lu!”
“Ya, maaf. Aku ada urusan tadi, nggak sempat ngabarin.” Mukanya terlalu melas untuk mengakui kesalahannya.
“Ya udah, kita mulai rapatnya!“ salah seorang bijak menenangkan yang lainya. Sepertinya dia yang dituakan dalam kelompok itu. “Citra, ini untuk yang kesekian kalinya kamu buat temen-temen ketiduran Cuma untuk nunggu kedatanganmu dalam rapat. Kamu nggak boleh egois begini. Kerja kita sama-sama. Kalo memang nggak nyaman, meding ngomong deh!” kali ini lebih meggambarkannya seperti pemimpin kelompok dengan ketegasannya.
“Iya-iya. Maaf!”                                                                           .
    Sepertinya memang lebih baik mengalah dalam situasi seperti ini. Citra duduk dan mencoba menyampaikan permohonan maaf aas keterlambatannya dengan wajah memelasanya yang tetap manis, menolak kemarahan yang lain.
Dan rapat dimulai. Tak lama berselang dalam keseriusan rapat, HP Citra berbunyi segera kemudian mengusik Focus Forum yang ada. Dan lagi-lagi Citra jadi perhatian sesisi ruangan.
Diambilnya HP, dan dibuka message yang masuk. Dari yang ternyaman: “sayang, kamu sudah tidur. Jangan lupa berdoa ya sebelum tidur. Love you!”
Forum mendadak rusuh dan heboh. Teman perempuan yang duduk disebelah Citra ternyata membaca sms yang masuk dan meneriakan kepada teman-temannya yang lain. Dan sukses Citra jadi bahan lelucon malam ini.
Perempuan berjilbab diujung berseloroh akhirnya “Citra! Kamu itu aktivis perempuan! Pinter, cerdas dan cantik. Kok mau-maunya gitu lho pacaran sama tukang marketing yang gag ngerti gerakan.”
Dan semakin heboh ruangan itu jadinya. Yang disindir hanya senyum dan diam tenang mendengar ejekan teman-teman lainnya.
THE END

04 Juni 2014

TAKUT DEWASA

Karya : Yopan Syahrial

Tak banyak yang berubah
Saat diri mulai tau segalanya
Terkecuali bertambah buruk
Perlahan waktu menjawab
Katakan lah pertaruhan adil
Walau yang didapat hanya seringan debu

Para awam mengumpulkan sedikit demi sedikit
Tanpa peduli, bagian tubuhnya telah hilang
Semua takkan pernah lengkap
Semua akan tetap sama
Jauh dari sempurna

Alangkah singkatnya hidup
Begitu mudah ditebak
Yang buta dan tuli hanya berjalan diantara dua kotak
Benar atau salah
Tanpa tau si kotak yang lain
Penasaran pun tidak....

02 Juni 2014

Berhenti dalam Tanya

Bentang keindahan mewarnai cakrawala Indonesia
Dibalik tabir surya yang memberikan pencerahan
Sesekali terlihat pepohonan hijau yang semakin jarang
Kata orang, ia pun tergerus oleh zaman

Sampai kita telah bosan
Berkata hentikan untuk semua penghancuran
Maka sebanyak itu pula perlakuan tak adil ditegakkan
Hanya karena mereka yang tak bertangan dan berlengan
Meneriakkan kata melawan

Sembunyilah dibalik teduhnya dahan rindang itu
Hingga waktu memberikan kepada mu untuk melanjutkan
Perkelana yang tak henti tuk di injakkan
Sekarang, ruang kan memberi kesempatan
Untuk kau menggoreskan sejarah kehidupan

Namun, bersabarlah
Karena nantian ini belum memberikan arti
Pada mu yang semakin goyah dalam pertarungan
Sampai kau mengerti
Bahwa garis lah yang menghantarkan mu kembali

Tetap dengan tegap, maka berdirilah
Cukupkan bagi mu derita yang tak ada
Buka mata dengan lebarnya
Dan sampaikan bahagia yang tiada tara
Sebagai kesaksian kesabaran dan keikhlasan

Bukan kah hidup pun adalah berkorban
Berkorban untuk mengorbankan yang lain tak menjadi manusia
Hingga tetap menanti adanya persatuan kembali
Agar membentuk suatu jadi

23 April 2014

Politik Menggelitik

Hoi , hoi ,
Terdengar suara teriakan di pagi buta
Aku kira memanggil karena kebakaran atau kemalingan
Sekali lagi aku menyeka telinga
 
Hik hik
Suara orang tertawa dibalik adzan subuh
Ada apa gerangan gumamku,
Ku buka jendela
Rupa – rupanya kedua si penyapu pagi,
Bincang seru mereka membangunkan lelapku,
Mata ini seketika terbangun dan seolah meloncat,
Aku menguping cerita mereka,
Mereka berbicara soal Pemerintahan Negara boneka,
 
Hah, hah
Aku terbengong – bengong,
Penyapu pagi pun mengerti politik
Tahun pemilu yang menggelitik
Aku pun ikut – ikut berfikir dalam
Rakyat ini diwakili dua suara yang tak mau memilih,
Golongan putih oh golongan putih,
Mereka berteriak,
Tidak … tidak,

Kami tidak mau memilih orang – orang pembohong itu,
Bersandiwara dengan uang dan kuasanya,
Palsu belaka ocehan mereka,

( Meike)

TRENDING TOPIK

Pentingnya Organisasi Kepemudaan dalam Membangun Bangsa

Organisasi kepemudaan memiliki peran yang sangat penting dalam membantu pelembagaan kepemudaan dan memperkuat identitas nasional di Indonesi...